CEO Nvidia Jensen Huang dikenal sebagai manusia ribuan triliun. Pria berharta US$ 148,1 miliar atau sekitar Rp 2.399 triliun itu mengungkap jurusan kuliah yang paling dibutuhkan di masa depan.
Jensen Huang mengatakan dirinya tidak akan memilih jurusan teknologi informasi atau software jika ia masih muda hari ini. Menurutnya, jurusan yang akan dia cari adalah ilmu fisika.
Hal ini diungkapkannya saat mendapat pertanyaan dari seorang jurnalis, seperti dikutip dari detikFinance pada Rabu (23/7/2025). Ia menjelaskan jika saat ini berusia 22 tahun dan baru lulus, maka ia tidak akan fokus pada teknologi informasi atau Information Technology (IT).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk Jensen yang muda, 20 tahunan, yang baru lulus sekarang, mungkin dia akan memilih... lebih ke ilmu fisika daripada ilmu perangkat lunak," ujar Jensen Huang menjawab pertanyaan jurnalis itu.
Seperti diketahui, ilmu fisika (physical science) mencakup bidang seperti fisika, kimia, astronomi, dan ilmu kebumian, berbeda dengan ilmu hayati. Jensen Huang sendiri merupakan lulusan teknik elektro dari Oregon State University dan meraih gelar master dari Stanford University.
Jensen Huang ikut mendirikan Nvidia bersama Chris Malachowsky dan Curtis Priem pada 1993. Dari sebuah pertemuan sederhana di restoran Denny's, kini Nvidia menjadi perusahaan paling bernilai di dunia dan memimpin revolusi AI.
Ia menjelaskan dalam 15 tahun terakhir dunia telah melewati beberapa fase AI. "Modern AI benar-benar mulai dikenal sekitar 12 hingga 14 tahun lalu, saat AlexNet muncul dan visi komputer mengalami terobosan besar," kata dia dalam The Hill & Valley Forum di Washington, April lalu.
AlexNet adalah model yang mengenalkan deep learning dalam gambar dan menjadi pemicu ledakan AI modern. Fase itu disebut Huang sebagai Perception AI. Lalu masuk ke fase Generative AI, yang membuat AI bisa memahami informasi dan menerjemahkannya menjadi teks, gambar, kode, dan lainnya.
Sedangkan, kata Huang, kini kita berada di era Reasoning AI. "Kita sekarang memasuki era yang disebut Reasoning AI, di mana AI kini bisa memahami, menghasilkan, dan memecahkan masalah serta mengenali kondisi yang belum pernah kita lihat sebelumnya," jelasnya.
Menurut Huang, jenis AI ini melahirkan agentic AI atau robot digital yang mampu bernalar dan bekerja layaknya tenaga kerja manusia digital. Namun, dia berujar, fase berikutnya jauh lebih kompleks dan menarik, yakni Physical AI.
"Gelombang berikutnya menuntut kita memahami hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, inersia, sebab dan akibat," bebernya.
Huang menilai AI generasi ini membutuhkan kemampuan untuk melakukan penalaran fisik. Termasuk dapat memahami bahwa benda tetap ada meski tak terlihat, atau memperkirakan seberapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk mengangkat benda tanpa merusaknya.
"Ketika Anda memasukkan AI fisik itu ke dalam benda nyata yang disebut robot, jadilah robotika," ungkap Huang.
"Jadi mudah-mudahan, dalam 10 tahun ke depan, saat kita membangun generasi baru pabrik-pabrik ini, semuanya sangat mengandalkan robot dan bisa membantu kita menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah di seluruh dunia," imbuhnya.
Artikel ini telah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini!
(iws/iws)