Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta buka suara terkait sanksi bagi desa adat yang tidak menjalankan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Menurut Giri Prasta, sanksi terkait pembatasan plastik sekali pakai itu tidak membebankan desa adat.
"Saya kira tidak membebankan desa adat. Kami berprinsip tentang pengolahan sampah berbasis sumber. Nanti peran dari desa adat ini melalui pola retribusi yang kami dapatkan, kami akan kuatkan desa adat," kata Giri Prasta di kantor DPRD Bali, Selasa (8/4/2025).
Sanksi untuk desa adat yang tidak menjalankan SE itu sebelumnya diungkapkan oleh Gubernur Bali Wayan Koster. Koster menjelaskan sanksi yang disiapkan berupa penundaan pencairan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) bagi desa adat yang tidak membatasi penggunaan plastik sekali pakai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain desa adat, sanksi juga akan diberikan kepada desa dinas maupun kelurahan di Bali. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, Giri berujar, akan menyosialisasikan kebijakan tersebut melalui bupati/wali kota se-Bali.
"Nanti tanggal 11 (April) pemerintah pusat akan me-launching gerakan Bali bersih sampah ini. Nanti akan kami tindaklanjuti pemerintah kabupaten/kota dengan OPD-OPD bergerak semua," imbuh mantan Bupati Badung dua periode itu.
Sebelumnya, Sekretaris Desa Adat Tuban I Gede Agus Suyasa mengungkapkan penerapan SE tersebut membutuhkan waktu. Ia menilai kebijakan itu tidak bisa dibebankan kepada desa adat saja.
"Dengan dilarangnya menggunakan plastik, secara otomatis dalam rapat kami tidak boleh menyediakan minuman kemasan. Sehingga, dibutuhkan dispenser air minum dan tempat minum untuk pengganti air kemasan," kata Agus, Senin (7/4/2025).
Agus merasa kurang adil jika sanksi itu hanya dibebankan kepada desa adat, sementara pelaksanaan kebijakan ini melibatkan banyak komponen masyarakat. Ia berpendapat penanganan sampah yang baik justru lebih bermanfaat dibandingkan melarang penggunaan plastik sekali pakai.
"Pemerintah harus menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sampah secara menyeluruh. Kenapa Surabaya mampu menangani sampah, sedangkan Bali tidak mampu? Ini juga akan menjadi pertanyaan besar," imbuh Agus.
"Perlu waktu disosialisasikan secara menyeluruh dan serentak dengan mengajak masyarakat untuk peduli dengan hal ini," imbuhnya.
(iws/gsp)