Bali yang keunikan budayanya memiliki sistem sosial yang cukup kompleks. Salah satunya sistem kasta. Sistem kasta yang diwariskan agama Hindu memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sebab, Bali merupakan salah satu provinsi dengan populasi pemeluk agama hindu terbanyak.
Sejarah pembagian kasta di Bali
Pada era Bali Pertengahan (1348-1906), juga dikenal sebagai era Bali Arya atau Bali Majapahit, masyarakat Bali secara jelas terbagi menjadi empat lapisan sosial, yaitu Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra. Pembagian ini didasarkan pada konsep catur warna dalam kitab suci Weda, yang mengkategorikan masyarakat menurut fungsi dan peran mereka dalam kehidupan.
Golongan Brahmana terdiri dari mereka yang menguasai pengetahuan suci dan mengabdikan diri untuk pelayanan umat melalui pengetahuan ketuhanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelompok Ksatria mencakup mereka yang memiliki keahlian dalam kepemimpinan, pemerintahan, administrasi, strategi perang, serta berjiwa patriot.
Golongan Wesia terdiri dari mereka yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perdagangan dan kewirausahaan.
Sementara kelompok Sudra terdiri dari mereka yang membantu dengan kekuatan fisik tanpa banyak pemikiran.
Oleh karena adanya sistem kasta, tentunya ini sangat memengaruhi kehidupan sosial masyarakat di Bali, termasuk juga dalam terminologi klasifikasi tempat tinggal.
Lantas, apa saja sebutan rumah orang Bali berdasarkan tingkat kastanya? Melansir dari Jurnal Patra yang ditulis oleh I Putu Gede Suyoga, berikut penjelasannya.
Struktur Sosial dan Hunian
Masyarakat tradisional Bali yang termasuk dalam tri wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Wesia) menempati hunian bernama griya, puri, dan jero. Ketiga jenis hunian ini dianggap sebagai jeroan (hunian sisi dalam).
Sedangkan tempat tinggal masyarakat biasa disebut umah. Umah dianggap berada di sisi luar atau jaba sehingga warganya disebut jaba wangsa yang secara politis setara dengan Sudra.
Dikotomi ini menciptakan perbedaan arsitektural yang jelas antara hunian tri wangsa dan jaba wangsa. Jaba wangsa umumnya berprofesi sebagai petani, nelayan, dan peternak.
Arsitektur Hunian
Rumah jaba wangsa relatif lebih kecil dalam dimensi rancang bangunnya, dengan tata ruang dan bangunan yang lebih mungil dibandingkan dengan keluasan lahan dan struktur bangunan tri wangsa. Hak pemakaian tipe bangunan, jenis bangunan, dan bahan bangunan diatur sangat ketat dalam pakem rancang bangun tradisional.
Panduan tradisional ini termasuk Asta Bumi (lahan), Asta Kosala-Kosali (rancang bangun), Yama Tattwa (bangunan kematian), Dewa Tatwa (bangunan suci), Janantaka (pilihan kayu), dan Wariga (ketentuan baik-buruk hari untuk membangun).
Tokoh-tokoh seperti undagi (arsitek tradisional), pengurus adat, rohaniawan, dan cendekiawan-akademisi memegang peran penting dalam menyebarkan wacana arsitektural tersebut. Mereka berhasil membuat sebagian masyarakat Bali mematuhi pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana kearsitekturan tersebut.
Pengetahuan ini pada intinya mengajak masyarakat Bali untuk memperkuat identitas ke-Hindu-an dan ke-Bali-an mereka. Walhasil, mereka mampu menampilkan identitas ke-Bali-an dalam arsitektur hunian mereka.
Artikel ini ditulis oleh Rusmasiela Mewipiana Presilla peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(hsa/hsa)