Feminisme: Pengertian, Tujuan, Latar Belakang, dan Aliran

Feminisme: Pengertian, Tujuan, Latar Belakang, dan Aliran

Rusmasiela Mewipiana Presilla - detikBali
Senin, 03 Jun 2024 18:44 WIB
ilustrasi jenis kelamin
Ilustrasi. Foto: thinkstock
Denpasar -

Di Indonesia, kesetaraan gender menjadi isu penting dalam upaya mencapai masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Sebelumnya, sudah ada gerakan yang mendukung kesetaraan gender. Gerakan itu disebut dengan gerakan feminisme.

Dewasa ini, gerakan ini cukup menuai banyak kontroversi. Maka dari itu, yuk kita mengenal lebih dalam konsep feminisme ini agar kita bisa lebih memahami isu sosial di masyarakat. Berikut ini merupakan pengertian, tujuan, latar belakang dan aliran-aliran feminisme.

Pengertian

Feminisme adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan antara jenis kelamin, terutama dalam hal hak, kesempatan, dan perlakuan. Asal-usul konsep ini dapat ditelusuri ke bahasa Latin, 'femina' yang berarti perempuan, dan mulai muncul pada akhir abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sinilah, feminisme telah mengalami perkembangan menjadi gerakan yang melibatkan berbagai pandangan dan strategi untuk mencapai kesetaraan gender, termasuk melalui penegakan hukum, advokasi politik, serta perubahan budaya yang mendalam.

Tujuan

Fokus utama feminisme adalah menciptakan lingkungan di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki hak yang sama, kesempatan yang setara, dan diperlakukan dengan adil. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketidakadilan sistematis yang terjadi dalam masyarakat, yang seringkali menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan politik.

ADVERTISEMENT

Melalui perjuangan ini, feminisme berusaha untuk membangun sebuah dunia di mana perempuan memiliki kebebasan untuk mengejar impian dan potensi mereka tanpa adanya hambatan berdasarkan stereotip gender atau norma-norma patriarki yang membatasi kemajuan mereka.

Latar Belakang

Latar belakang historis feminisme berasal dari kesenjangan yang jelas antara hak-hak dan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan politik, perempuan seringkali menghadapi diskriminasi sistematis yang membatasi kesempatan mereka.

Perjuangan untuk hak-hak perempuan menjadi semakin terorganisir pada abad ke-19, dengan gerakan-gerakan seperti Gerakan Suffragette yang menuntut hak pilih bagi perempuan. Sejak itu, feminisme telah menjadi gerakan global yang terus berkembang, menghadapi tantangan dan mencapai pencapaian yang signifikan dalam perjalanan menuju kesetaraan gender.

Aliran-aliran

β€’ Feminisme Liberal

Feminisme liberal menekankan kebebasan individu perempuan dan tuntutan untuk kesetaraan dengan laki-laki. Mereka menyalahkan ketertindasan perempuan pada faktor internal, menganggap perempuan harus bersaing di dunia untuk setara dengan pria.

Gerakan ini menyoroti perlunya perempuan menjadi pembuat kebijakan, bukan hanya warga negara biasa. Tokoh seperti Naomi Wolf dan Kishida Toshiko mewakili pandangan ini, menekankan pentingnya kesetaraan hak dan kekuatan perempuan.

Feminisme liberal menolak pandangan bahwa pekerjaan domestik tidak produktif dan memposisikan perempuan secara rendah. Dukungan terhadap materialisme dan individualisme di budaya Amerika mempercepat kemajuan feminisme ini, memungkinkan perempuan bekerja mandiri tanpa ketergantungan pada laki-laki. Gerakan ini terus menuntut pendidikan yang sama, hak sipil, dan kesetaraan ekonomi bagi perempuan sepanjang sejarahnya.


β€’ Feminisme Radikal

Pada pertengahan tahun 1970-an, muncul aliran feminisme yang dikenal dengan ideologi 'Perjuangan Separatisme Perempuan'. Gerakan ini lahir sebagai respons terhadap dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada 1960-an, khususnya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Feminisme radikal, seperti namanya, menekankan pada pandangan bahwa penindasan perempuan bersumber dari sistem patriarki yang mengatur masyarakat. Mereka menyoroti objektifikasi tubuh perempuan oleh kekuasaan laki-laki dan mempermasalahkan berbagai aspek seperti hak reproduksi, seksualitas, seksisme, dan relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki.

Konsep 'The personal is political' menjadi pusat dalam gerakan ini, menjangkau permasalahan perempuan hingga ke ranah paling pribadi, meskipun seringkali mendapat tanggapan negatif dari masyarakat.


β€’ Feminisme Pasca Modern

Feminisme pasca modern mengadopsi pandangan postmodernisme yang menolak ide absolut dan otoritas, serta meragukan keberhasilan modernitas dalam memahami berbagai fenomena sosial. Mereka menentang gagasan universalitas dalam pengetahuan ilmiah dan sejarah, serta berpendapat bahwa gender tidak menentukan identitas atau struktur sosial.

Menurut pandangan ini, subjektivitas dan identitas adalah konsep yang fleksibel dan dapat 'cair', memberikan perempuan kebebasan untuk mempertanyakan dan membentuk identitas mereka sendiri sebagai individu yang merdeka. Feminisme pasca modern menekankan bahwa tidak ada kelompok yang berhak menentukan identitas orang lain, dan perempuan tidak harus didefinisikan oleh pandangan laki-laki, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri.

β€’ Feminisme Anarkis

Feminisme anarkisme adalah suatu paham politik yang menginginkan masyarakat sosialis dan menyoroti bahwa negara serta dominasi patriarki oleh laki-laki merupakan akar masalah yang harus segera dieliminasi.

β€’ Feminisme Marxis

Feminisme aliran ini menyoroti masalah perempuan dalam konteks kritik terhadap kapitalisme, menganggap bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berasal dari eksploitasi kelas. Mereka menelusuri akar masalah ini hingga konsep kepemilikan pribadi dalam sistem kapitalis, yang menyebabkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan juga menciptakan kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar.

Kaum feminis Marxis percaya bahwa negara kapitalis tidak hanya merupakan institusi, tetapi juga merepresentasikan interaksi sosial dan hubungan kekuasaan. Mereka mengkritik negara karena menggunakan sistem eksploitasi terhadap perempuan sebagai pekerja.


β€’ Feminisme Sosialis

Feminisme sosialis memegang keyakinan bahwa pembebasan perempuan tidak dapat terwujud tanpa sosialisme, dan sebaliknya. Mereka menuntut penghapusan sistem kepemilikan, termasuk lembaga perkawinan yang melegalisir dominasi pria atas harta dan pasangannya.

Aliran ini memandang patriarki sebagai sumber penindasan yang telah ada sebelum munculnya kapitalisme, dan bahwa kritik terhadap kapitalisme harus juga melibatkan kritik terhadap dominasi gender.

Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan terhadap perempuan, dan mereka setuju dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme adalah akar dari penindasan tersebut, sambil juga menyatukan pandangan dengan feminisme radikal tentang peran patriarki.

Dalam perspektif ini, kapitalisme dan patriarki saling memperkuat, seperti yang diperlihatkan oleh Nancy Fraser dalam konteks keluarga di Amerika Serikat dan peran gender dalam ekonomi. Agenda perjuangan feminisme sosialis adalah menghapuskan kedua sistem ini, yang diharapkan akan mengurangi beban kemiskinan yang dialami oleh perempuan.


β€’ Feminisme Poskolonial

Pandangan feminisme poskolonial berakar pada pengalaman perempuan di negara-negara dunia ketiga, terutama bekas koloni, yang mengalami beban penindasan yang kompleks. Selain disubjekkan pada penindasan gender, perempuan di negara-negara ini juga mengalami penindasan berbasis bangsa, suku, ras, dan agama.

Feminisme poskolonial menyoroti dimensi kolonialisme yang menjadi fokus utamanya, mengkritisi penjajahan dalam berbagai aspek, termasuk fisik, pengetahuan, nilai-nilai, pandangan, dan mentalitas masyarakat.

Beverly Lindsay dalam karyanya 'Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class' menekankan bahwa hubungan ketergantungan yang melibatkan ras, jenis kelamin, dan kelas masih dipertahankan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.

β€’ Feminisme Nordic

Kaum feminis Nordic memiliki pendekatan analisis yang berbeda dengan feminisme Marxis dan Radikal ketika mengevaluasi sebuah negara. Mereka lebih menekankan pada aspek feminisme bernegara atau politik daripada praktik-praktik mikro. Kaum ini meyakini bahwa perempuan harus menjalin hubungan yang baik dengan negara karena kekuatan dan hak politik serta sosial perempuan dapat diwujudkan melalui negara dengan dukungan kebijakan sosial yang diterapkan.

Artikel ini ditulis oleh Rusmasiela Mewipiana Presilla peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads