Sulitnya Warga Dapat Air Bersih di Tengah Penyelenggaraan WWF di Bali

Round Up

Sulitnya Warga Dapat Air Bersih di Tengah Penyelenggaraan WWF di Bali

Tim detikBaili - detikBali
Jumat, 24 Mei 2024 08:09 WIB
Warga di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, melihatkan debit air keran PDAM miliknya di rumah yang kecrat-kecrit, Kamis (23/5/2024).
Foto: Warga di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, melihatkan debit air keran PDAM miliknya di rumah yang kecrat-kecrit, Kamis (23/5/2024). (Agus Eka/detikBali)
Denpasar -

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Water Forum (WWF) atau Forum Air Sedunia ke-10. Agenda internasional ini digelar di Bali, tepatnya di kawasan The Nusa Dua, Kabupaten Badung.

Namun, sejumlah daerah di Indonesia justru masih mengalami kesulitan terhadap air di tengah penyelenggaraan WWF. Ada sejumlah cerita sedih dari warga Jakarta, Pegunungan Kendeng, hingga Kuta Selatan, mengenai sulitnya mendapatkan air bersih.

Para warga sipil yang hendak mendiskusikan permasalahan air melalui agenda People's Water Forum (PWF) yang rencananya digelar 21 hingga 23 Mei 2024. Sayang, beragam masalah yang seharusnya dibahas dalam forum tandingan WWG tersebut urung digelar karena dibubarkan secara anarkistis oleh organisasi masyarakat (ormas) Patriot Garuda Nusantara (PGN).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sulitnya Air Bersih di Jakut Berdampak ke Stunting-Gizi Buruk

Kesulitan air bersih dirasakan oleh warga di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Hal ini diungkapkan oleh Titin, satu di antara sekian peserta PWF.

Titin mengungkapkan kesulitan warga Pademangan untuk mendapatkan air bersih telah berdampak pada angka stunting dan gizi buruk tinggi di daerah tersebut. Bahkan, tidak sedikit ibu-ibu yang mendapatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hanya gara-gara air bersih.

"Karena apa, begitu anak mau mandi mau ngaji tidak ada air. Suami tahunya ibu yang berdekatan dengan air, begitu suami pulang kok tidak diseduhkan kopi, ya karena airnya susah untuk didapatkan di wilayah Jakarta," beber Titin saat diwawancarai detikBali, Kamis (23/5/2024).

Menurut Titin, air bersih di sana bisa diperoleh, tapi harganya sangat mahal. Warga harus menggunakan air master meter yang biayanya Rp 15 per kubik yang setara dengan hotel berbintang lima.

Awalnya, Titin berharap dapat memperoleh solusi dari para akademisi dengan mengikuti forum diskusi PWF. Namun, harapannya sirna ketika adanya aksi premanisme yang dilakukan ormas PGN.

"Kami terus terang saja, apa yang kami bawa dari Jakarta rencananya yang akan kami sharing bersama di sini akhirnya belum terlaksana karena adanya intimidasi-intimidasi orang-orang tersebut," sesalnya.

Padahal, Titin sempat senang bisa datang ke Bali. Menurutnya, Bali adalah pulau yang indah. Namun, bayangannya sirna ketika mendapatkan serangkaian intimidasi di lokasi PWF. "Kami terus terang saja rasa ketakutan karena kami tidak nyaman," ucap Titin.


Air Bersih Warga Kendeng Terancam Pabrik Semen

Djoko Puwanto, peserta PWF lainnya asal Rembang setali tiga uang dengan Titin. Ia berharap ada pembahasan soal air yang dapat dijadikan solusi di kampungnya.

Pria yang tinggal di pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah, itu mengungkapkan adanya kondisi yang mengancam ketersediaan air untuk warga. Padahal, wilayah tempat tinggalnya adalah daerah resapan penyimpanan dan tempat penyaluran air.

"Salah satunya untuk bahan semen dan sampai akhir ini banyak sekali tambang-tambang dan salah satunya pabrik semen Indonesia telah berdiri di sana dan beroperasi," beber Djoko.

Padahal, sebelumnya warga telah menggugat dan pihak pengembang sudah kalah. Namun faktanya, sampai hari ini Djoko masih melihat pabrik-pabrik itu terus beroperasi.

"Dan menambang ini kekhawatiran kami ke depan ketika daerah resapan tersebut terus ditambang, kami akan kekurangan air bersih. Makanya ketika kami dikabari ketika lagi ngumpul di Bali untuk rembuk tentang air ini merupakan salah satu energi juga untuk kita berkomunikasi," jelas Djoko.

Namun, sesampainya di Bali ia menyayangkan adanya aksi pembubaran dan intimidasi dari ormas PGN.


Air Bersih Sulit di Kabupaten Terkaya Bali

Ironi juga terjadi di Kabupaten Badung, Bali. Masih banyak warga Badung yang kesulitan akses mendapatkan air bersih meski kabupaten itu sebagai daerah terkaya di Pulau Dewata. Beberapa warga masih sulit menutupi kebutuhan air saban hari meski layanan air produksi perusahaan pelat merah milik Badung sudah masuk ke wilayah tersebut. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Badung 2024 mencapai Rp 9,5 triliun.

Wilayah Kuta Selatan sebagian besar merupakan lahan bukit berkapur nan kering sehingga sumber air hampir tak ditemukan di wilayah ini. Warga di kawasan ini memilih membeli air tangki jika sewaktu-waktu suplai air PDAM macet.

"(Kalau air PDAM macet) biasanya warga beli air tangki satu hari dikirim (butuh) rata-rata 2-3 tangki. Harganya Rp 300 ribu per tangki kapasitas 5.000 liter. Ya mencukupi untuk satu minggu," kata Made Kardiana, warga Banjar Tambyak, Desa Pecatu, Kamis (23/5/2024).

Tidak mengherankan jika warga di Kuta Selatan, bahkan hampir seluruh warga di Pecatu, punya bak penampungan air. Selain membeli air tangki seharga Rp 300 ribu, warga juga memanfaatkan air hujan.

Pantauan detikBali, setiap warga di Banjar Tambyak punya bak penampungan dengan ukuran bervariasi. Antara 2x3 meter dan paling kecil 1,5x2 meter dengan kedalaman 2 meter bahkan lebih. Ada sekitar 30-an rumah dengan 78 kepala keluarga di wilayah ini.

Made Kardiana sendiri membuat bak air super jumbo berukuran 7x9 meter dengan kedalaman 10 meter sejak 2009 lalu. Menurutnya, warga sudah punya bak besar sejak puluhan tahun lalu karena masalah air sudah menjadi problem klasik.

"Sempat ada warga lain ingin bikin sumur bor. Dalamnya kemungkinan 225-250 meter itu supaya bisa (keluar air), tapi kan biayanya tinggi. Memang harus punya bak air. Rata-rata tiap rumah di sini, cek saja, pasti punya," tuturnya.

Dia tidak menampik, layanan air milik perusahaan daerah Badung kadang seret kadang lancar. Kalaupun normal, debit airnya kecil. Warga setempat, kata Made, sudah beberapa kali menyampaikan keluhan ke kantor desa.

"Saya belum tahu penyebabnya dan kami hanya bertanya saja. Sudah ditanyakan, alasannya mesin pompa belum kuat. Perlu dipastikan lagi ke bapak-bapak berwenang," kata Made.

Penuturan Made setali tiga uang dengan warga bernama Nyoman Suamba asal Banjar Bakung Sari, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, yang tinggal di Pecatu. Ia pernah menunggu air keran hidup dini hari untuk menampungnya lagi di bak.

"Kalau PDAM hidup, lancar, harus stok air. Orang Bali bilang megadangin (begadang). Malam mati, kadang hidup sedikit. Ya pakai bak penampungan. Syukurnya saya cuma tinggal berdua sama istri. Air cukup untuk 4 harian," tutur Suamba, Kamis sore.

Kakek 68 tahun yang dulu aktif sebagai sopir ini merasa keberatan dengan kondisi layanan air bersih di daerahnya. Sebab ia tetap menunaikan kewajiban bayar air bulanan, tetapi jarang merasakan manfaatnya.

"Ini jelas merugikan karena saya bayar bulanan tapi air tidak ada (keluar). Saya bayar tetap juga bulanan. Saya rasakan dua minggu ini seret. Sebelumnya hidup tapi (debit) kecil," katanya.

Ia berharap kondisi air bersih yang seret ini bisa tertangani dengan cepat oleh Perumda Tirta Mangutama. Mengingat keuangan daerah Badung yang mumpuni, apalagi Kuta Selatan yang juga kawasan pariwisata harus disokong layanan air bersih yang baik.




(hsa/hsa)

Hide Ads