Jeda dari Ingar Bingar Politik Melalui Nyepi

Surat dari Redaksi

Jeda dari Ingar Bingar Politik Melalui Nyepi

Widyartha Suryawan - detikBali
Senin, 11 Mar 2024 08:34 WIB
Ilustrasi umat Hindu bersembahyang.
Foto: Ilustrasi Nyepi.
Denpasar -

Penduduk Indonesia baru saja selesai mengikuti Pemilu 2024 pada Rabu, 14 Februari 2024. Warga memilih calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres); calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota serta provinsi; caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Para kandidat capres dan cawapres serta caleg berkampanye sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 atau selama 75 hari. Saat itu, warga disuguhi beragam janji kampanye dan gimik politik seperti 'gemoy' dan 'sat-set'. Bahkan, kata omon-omon untuk menyindir kandidat lain menjadi populer saat berkampanye.

Para kandidat mengeklaim dirinya yang terbaik dibandingkan yang lain demi mencapai kekuasaan. Media sosial ikut riuh. Pendengung politik berkeliaran untuk mengkampanyekan juragannya yang bisa memberikan uang atau fasilitas memadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para kandidat tak lagi mengajak pemilih berpikir kritis dengan mengkampanyekan hal yang sukar diwujudkan. Bahkan, sebagian dari mereka tidak malu lagi menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye.

Bawaslu di sejumlah daerah menemukan adanya praktik politik uang. Misalkan, tim sukses caleg ditengarai membagikan uang untuk meraup suara di Buleleng.

ADVERTISEMENT

Sejumlah akademikus dari beragam universitas seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjajaran (Unpad), dan Universitas Islam Indonesia (UII) pun melayangkan kritik secara terbuka atas kondisi demokrasi di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu hal yang paling disorot adalah hilangnya etika bernegara.

Saling klaim merasa dicurangi saat kontestasi digaungkan oleh para aktor politik tersebut. Bahkan, sejumlah kalangan menyebut Pemilu 2024 adalah pemilu terbrutal setelah reformasi. Sebagian anggota DPR mewacanakan penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu.

Beragam intrik perebutan kekuasaan itu dijadikan bahan untuk membuat ogoh-ogoh oleh sejumlah sekaa teruna atau kelompok pemuda di Bali. Misalkan, Sekaa Teruna Kembang Sari.

Kelompok pemuda dari Banjar Banyubiru, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali, itu membuat ogoh-ogoh bertema 'Mebarung Gelung' (berebut mahkota). Ogoh-ogoh itu menggambarkan dua sosok saudara yang berebut mahkota atau kedudukan. Mencerminkan perpecahan akibat keserakahan.

Ogoh-ogoh itu dibuat menjelang Nyepi tahun baru Saka 1946. Nyepi merupakan momen untuk berkontemplasi atau refleksi diri. Seluruh aktivitas dibatasi, juga hasrat ingin berkuasa mesti dipendam selama 24 jam.

Semua berdiam diri di rumah masing-masing untuk menjalankan Catur Brata Penyepian antara lain tidak bepergian (amati lelungan), tidak menyalakan api atau penerangan (amati geni), tidak melakukan kerja fisik (amati karya), dan tidak mengadakan hiburan untuk bersenang-senang (amati lelanguan).

Beragam pembatasan diterapkan selama 24 jam di Pulau Dewata. Jaringan telekomunikasi dibatasi, pelabuhan dan bandara ditutup, perkantoran libur, hingga lampu jalan dimatikan. Sipeng.

Nyepi mengajarkan kita untuk kembali ke titik nol setelah memikirkan beragam ulah kita sehari-hari, termasuk saat kita saling menjatuhkan demi mendukung kandidat tertentu. Nyepi juga menjadi jeda, sebelum kita disuguhkan gimik dan intrik politik saat masa kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 pada 25 September-23 November 2024 atau 60 hari.

Rahajeng rahina Nyepi. Rahayu.




(iws/gsp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads