Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) I Nyoman Subanda menilai perbedaan antara pemasukan dana kampanye dengan penggunaannya yang dilaporkan oleh partai dan calon anggota legislatif (caleg) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan hal wajar. Partai maupun caleg mayoritas tidak transparan terkait pemasukan dan penggunaan dana kampanye salah satunya untuk menghindari pajak.
"Politikus atau caleg itu tidak transparan laporan keuangan (dana kampanye) sudah dari dulu dan semua partai juga begitu," ujar Subanda kepada detikBali, Rabu (17/1/2024).
Sebelumnya, KPU Bali melansir Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) partai dan calon anggota DPD daerah pemilihan Bali. Misalkan, Golkar menerima dana kampanye sebesar Rp 500 ribu sedangkan pengeluarannya Rp 0.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, PKS melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 230,5 juta, tapi pengeluarannya hanya Rp 40,03 juta. Adapun, PSI melaporkan dana kampanye sebesar Rp 12,06 juta dengan pengeluaran Rp 940 ribu.
Penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tersebut terlihat kontras dengan masifnya alat peraga kampanye yang dipasang oleh partai, caleg, maupun calon anggota DPD. Misalkan, maraknya baliho PSI di sejumlah daerah di Bali seperti Denpasar, Karangasem, hingga Jembrana.
Menurut Subanda, tidak transparannya penerimaan dan pengeluaran dana kampanye oleh partai, caleg, maupun calon anggota DPD memiliki tujuan tertentu. Misalkan, untuk menghindari pajak.
"Saya dapat (informasi menghindari pajak) dari KPU, juga dari (caleg) yang bersangkutan," kata Subanda.
Rendahnya transparansi dana kampanye oleh partai maupun caleg disebabkan tidak adanya sanksi bagi partai dan caleg yang tak jujur melaporkan dana kampanyenya. "Ini masalah kejujuran saja dan kejujuran itu sangat kualitatif karena menyangkut etika," ungkap Subanda.
(gsp/nor)