Sekitar dua warga sipil disebut-sebut turut terbunuh untuk setiap militan Hamas yang tewas di Jalur Gaza. Hal itu diungkapkan oleh sejumlah pejabat militer senior Israel. Mereka juga menyebut militer Israel mengerahkan perangkat lunak dan melakukan pemetaan berteknologi tinggi untuk mengurangi kematian non-kombatan di Jalur Gaza.
Kementerian Kesehatan Gaza, yang dikuasai Hamas, melaporkan rentetan serangan militer Israel setelah serangan pada 7 Oktober lalu telah menewaskan sekitar 15.900 orang. Kebanyakan korban tewas merupakan anak-anak dan wanita.
Di sisi lain, beberapa laporan media menyebut 5.000 militan Hamas tewas akibat serangan-serangan di Jalur Gaza. Salah satu pejabat senior militer Israel mengatakan kepada wartawan bahwa jumlah tersebut kurang lebih benar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak mengatakan tidak buruk jika kita memiliki rasio dua banding satu," ujar salah satu pejabat militer senior Israel yang tidak disebut namanya, dilansir dari AFP dan Al Arabiya, Selasa (5/12/2023).
Pejabat itu juga menyebutkan penggunaan tameng manusia merupakan bagian dari strategi inti Hamas. "Mudah-mudahan itu (rasionya-red) akan jauh lebih rendah (dalam fase perang mendatang)," ucapnya.
Meningkatnya korban tewas dan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza memicu kemarahan di sebagian besar dunia. Israel mulai membombardir target-target di Jalur Gaza, bersamaan dengan operasi darat, dengan tujuan menumpas Hamas setelah serangan mengejutkan pada 7 Oktober lalu.
Gunakan AI untuk Lacak Penduduk Sipil
Amerika Serikat (AS), sekutu Israel, memperingatkan Tel Aviv agar mengambil lebih banyak tindakan untuk mencegah jatuhnya korban sipil ketika operasi militer mereka beralih ke wilayah selatan Jalur Gaza. Di lokasi itu, banyak warga sipil mencari perlindungan setelah mengungsi dari wilayah utara yang hancur.
Menurut para pejabat senior Israel itu, militer menggunakan perangkat lunak pemetaan berteknologi tinggi hingga kecerdasan buatan atau AI untuk melacak pergerakan penduduk sipil di dalam Jalur Gaza. Sistem ini menggabungkan telepon seluler dan sinyal-sinyal lainnya, pengawasan udara dan informasi dari sumber-sumber lokal, serta kecerdasan buatan atau AI, untuk mempertahankan peta yang terus diperbarui yang menunjukkan konsentrasi populasi di seluruh wilayah Jalur Gaza.
Masing-masing dari 623 sel pada peta itu diberi kode warna. Adapun, warna hijau menunjukkan wilayah yang 75 persen penduduknya telah dievakuasi.
"Di wilayah selatan, karena jumlah penduduk meningkat dua kali lipat, operasinya jauh lebih tepat. Kami membutuhkan lebih banyak waktu untuk memastikan upaya kami (dalam memperingatkan warga sipil) efektif," sebut pejabat militer senior Israel tersebut.
Peta tersebut diklaim bertujuan untuk memperingatkan warga sipil agar meninggalkan daerah-daerah tertentu sebelum terjadinya serangan. Adapun, sosialisasi dilakukan melalui SMS, panggilan telepon, selebaran, dan pengumuman lainnya. Mereka mengeklaim penggunaan teknologi itu untuk memastikan efektivitas pesan-pesan itu secara real-time.
Sementara itu, kantor kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), OCHA, mempertanyakan kegunaan alat tersebut di wilayah dengan akses telekomunikasi dan listrik bersifat sporadis. Adapun, perusahaan telekomunikasi di Jalur Gaza menyatakan layanan telepon seluler dan internet telah terputus di seluruh wilayah itu pada Senin malam (4/12/2023).
"Saya bisa meyakinkan Anda bahwa kami melakukan segala daya kami untuk mengurangi korban sipil. Tetapi ini adalah bagian dari konsekuensi perang," ucap pejabat militer senior Israel itu.
Artikel ini telah tayang di detikNews. Baca selengkapnya di sini!
(iws/iws)