Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sejatinya sudah menggagas proyek lintas raya terpadu (LRT) sejak lima tahun lalu. Namun, rencana tersebut hingga kini belum terealisasi.
Yang terbaru, impian Pemprov Bali itu baru di tahap studi kelayakan dan menjaring kerja sama dengan sejumlah instansi terkait. Lambannya progres Pemprov Bali dalam mewujudkan impiannya tersebut memicu keraguan di kalangan pengamat transportasi.
"Ya dari dahulu (LRT di Bali) rencana terus. Studi kelayakan juga sudah lama (dilakukan). Sekarang, berani membangun apa nggak," kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setidjowarno kepada detikBali, Jumat (12/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Djoko berpandangan, apabila Pemprov Bali memang serius akan mengeksekusi proyeknya tersebut, ada empat hal yang harus diperhatikan. Antara lain, soal konsep operasional LRT, kesiapan anggaran, kebutuhan masyarakat, dan penertiban jumlah kendaraan pribadi di jalanan Bali.
Soal konsep operasional LRT, Pemprov Bali perlu mempertimbangkan apakah LRT nantinya akan dibangun di atas tanah, melayang (elevated), atau di bawah tanah (subway). Konsep itu nantinya berkaitan dengan tinggi rendahnya biaya atau anggaran yang diperlukan.
Djoko mengatakan pembangunan LRT dengan anggaran paling murah adalah dibangun di atas tanah. Biaya yang dianggarkan, bisa jadi hanya di kisaran Rp 1 triliun atau sepersepuluhnya saja.
Sebab, LRT yang dibangun di atas tanah tidak memerlukan infrastruktur seperti tiang penyangga beton. Hanya perlu rangkaian gerbong, rel, dan prasarana pendukung lainnya.
"Kan dia (LRT di atas tanah) tidak perlu tiang beton. Hanya, digelar di situ (dibangun di jalanan) saja," kata Djoko.
Namun, kendalanya ada pada ketersediaan lahan. Seperti diketahui, tidak banyak jalanan di Bali dengan lebar badan jalan yang mumpuni jika harus ada kereta di antara kendaraan lain.
Kemudian, pembangunan LRT dengan konsep atau jenis melayang (elevated). Djoko menjelaskan dengan anggaran Rp 10 triliun, panjang rute LRT yang dapat dibangun adalah 20 kilometer, dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 500 miliar per kilometernya.
Anggaran Rp 10 triliun untuk lintasan sejauh 20 kilometer tersebut hanya prasarananya saja. Misalnya, rel, tiang beton, sinyal kereta, dan prasarana lainnya.
Sementara, untuk keretanya sendiri, perlu anggaran sebesar lebih kurang Rp 271 miliar dengan Rp 20 miliar per gerbong keretanya. Itu, perhitungan ketika menggunakan kereta produk dalam negeri.
"Kalau mau pakai keretanya PT INKA, juga bisa. PT INKA sudah banyak produksi kereta. KRL (Kereta Rel Listrik) dan kereta bandara, PT INKA juga yang produksi," jelasnya.
Pilihan konsep atau jenis LRT yang terakhir adalah dengan dibangun di bawah tanah. Tanpa menyebut nominal yang harus dianggarkan, Djoko menuturkan bahwa konsep pembangunan LRT bawah tanah adalah yang termahal.
"Kalau bawah tanah (di dalam terowongan), (biayanya) mahal. Saya lupa perbandingan (jumlah anggaran dibanding jenis LRT lain). Tapi kalau di dalam terowongan, itu mahal," tegasnya.
Selain soal jenis dan konsep LRT, Djoko juga menyarankan agar Pemprov Bali melakukan pembenahan di aspek lain. Salah satunya, dengan mengendalikan jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalanan di Bali.
Menurutnya, Pemprov Bali harus berani menertibkan jumlah peredaran kendaraan pribadi, terutama, kendaraan roda dua. Karena, nantinya akan berdampak pada pemasukan daerah dari LRT tersebut.
Dia mencontohkan sepinya penumpang atau masyarakat di Bali yang memanfaatkan Trans Metro Dewata. Djoko khawatir jika LRT tersebut nantinya akan bernasib sama dengan Trans Metro Dewata apabila Pemprov Bali tidak serius mendorong masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke umum.
"Bali itu menarik. Pasti ada permintaan (masyarakat terhadap transportasi publik). Masalahnya, Pemprov Bali berani nggak melakukan pembatasan kendaraan pribadi, sehingga orang mau menggunakan angkutan umum," katanya.
(nor/gsp)