Makam Kampung Islam Angantiga, di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, ramai didatangi peziarah saat Idul Fitri 1444, Sabtu (22/4/2023). Peziarah datang dari berbagai daerah di Bali.
Kampung Angantiga adalah satu-satunya pemukiman warga muslim di kawasan utara perbukitan Badung. Warga yang bermukim di sini merupakan keturunan suku Bugis yang dahulu pernah mendiami Pulau Serangan, Denpasar.
Di tempat itu, terdapat tiga makam tokoh pendiri Kampung Angantiga. Ketiganya adalah Daeng Mapilih, Daeng Ordi, dan Tuan Haji Saleh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Kampung Angantiga M Ramsudin (48) mengaku tidak memiliki catatan resmi mengenai kapan meninggalnya para tokoh kampung tersebut. Namun jika ditarik sesuai kisah kedatangan tiga tokoh itu, makan sudah ada 1800 Masehi.
"Terkait meninggal itu tidak ada catatan resmi. Cuma sejarahnya yang pernah disampaikan turun-temurun bahwa leluhur orang Angantiga datang ke lokasi ini di masa Kerajaan Badung. Saat itu diperintah Raja Cokorda Pemecutan III," tutur Ramsudin, Sabtu (22/4/2023).
Makam Daeng Mapilih tampak sederhana, dengan keramik berukuran sekitar 40x40 sentimeter yang diberi atap seng. Begitu juga makam Tuan Haji Saleh dengan keramik putih berukuran lebih kecil.
Area pemakaman warga Angantiga cukup luas dan berada dalam satu kawasan dengan kuburan warga adat Bali. Lokasi makam ini berada 300 meter di selatan pusat perkampungan.
Menurut Ramsudin, tradisi ziarah ke makam sudah menjadi tradisi setiap Idul Fitri maupun hari keagamaan Islam lainnya. Menariknya, ziarah ke makam para tokoh juga dilakukan oleh warga luar Angantiga.
"Yang jelas kami selalu berdoa dalam setiap perayaan hari besar keagamaan. Yang dilakukan seperti biasa dengan nyekar memakai kembang. Satu bukti bakti kami kepada leluhur," ungkap Ramsudin.
Kampung Islam Angantiga
Ada sejumlah versi yang menyebutkan asal mula warga Bugis tinggal di Angantiga. Satu di antaranya tercatat pada sejumlah lontar di Puri Carangsari. Menurut lontar itu, Puri disebut pernah meminta warga Bugis untuk mengamankan wilayah hutan dari gangguan kejahatan maupun mistis.
Menurut versi ini, warga muslim Angantiga ketika masih bermukim di wilayah pesisir Pulau Serangan sempat bersitegang dengan warga lokal dalam sebuah arena sabung ayam. Keributan itu kemudian didengar oleh Kerajaan Badung dan memanggil warga Bugis ini untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Kemungkinan pihak kerajaan melihat ada potensi dari leluhur kami sehingga warga muslim ini diminta untuk tetap ada di Badung sebagai kelompok penggawa," tutur Ramsudin.
Di tempat lain, masih menurut cerita, Puri Carangsari meminta beberapa penggawa di Kerajaan Badung untuk tinggal di Alas Bangkiang Jaran. Yakni hutan sebelah utara puri yang kini menjadi Kampung Muslim Angantiga. Dahulu hutan itu dikenal rawan kejahatan dan angker.
"Wilayah puri dari Puncak Mangu sampai hutan pala Sangeh itu, hutan Bangkiang Jaran ada di tengah-tengah. Setiap orang datang dari utara merasa tidak aman. Tiga tokoh bernama Daeng Mapilih, Daeng Ordi, dan Tuan Haji Saleh ini diminta tinggal di Angantiga," jelas Ramsudin.
Setelah sekian lama, kawasan alas Bangkiang Jaran aman. Tiga tokoh Bugis ini diberikan tempat tinggal dan diizinkan mondok. Puri Carangsari lantas memberikan nama kawasan itu Angantiga, yakni angan atau angen berarti pendirian dan tiga merujuk para tokoh Bugis.
(iws/BIR)