Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng berkoordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali Andry Novijandri dan Kepala BPN Buleleng Agus Apriawan, Rabu (12/4/2023). Pertemuan tersebut untuk membahas konflik sengketa lahan di Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak.
Penjabat (Pj) Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana mengatakan tanah itu sudah memiliki bukti yang kuat merupakan aset Pemkab Buleleng. Untuk itu, Pemkab Buleleng memutuskan tetap mempertahankan aset tersebut. "Jadi dia (Kakanwil) minta dokumen, sudah kami penuhi," katanya, Rabu (12/4/2023).
Lihadnyana menegaskan tidak mungkin memberikan tanah tersebut kepada masyarakat. Sebab, tanah tersebut sudah dikerjasamakan dengan PT Bali Coral Park. "Regulasinya panjang itu. Jadi, Pemkab Buleleng tetap mempertahankan aset itu," pungkasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN Bali Andry Novijandri mengatakan rapat koordinasi itu semata-mata untuk memperjelas kepemilikan aset. Apalagi tanah tersebut tercatat merupakan aset Pemkab Buleleng.
Sehingga, Kakanwil BPN Bali harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. "Di satu pihak negara melalui Pemkab mengelola aset tujuannya menghasilkan rupiah untuk pembangunan Buleleng. Di sisi lain ada masyarakat yang memohon untuk dirinya sendiri," ujarnya.
Dokumen yang telah diperlihatkan Pemkab Buleleng, menurut Andry, sudah menunjukkan kepemilikan yang kuat. "Itu bukti sudah ada, hanya saja saya ingin menegaskan beberapa hal terhadap penguasaan fisik," jelasnya.
Andry memastikan tidak ada sertifikat hak milik (SHM) yang melekat di atas sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemkab Buleleng. "SHM di atas HPL? Nggak ada, nggak ada SHM di atas HPL. Saya pastikan tidak ada SHM di atas HPL, itu kan baru pengakuan masyarakat," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, warga Dusun Batu Ampar meminta penjelasan terkait lahan yang diklaim Pemkab Buleleng sebagai HPL. Perwakilan warga Nyoman Tirtawan mengeklaim warga yang berjumlah 55 orang itu memiliki hak atas tanah yang ditempati saat ini, yakni berupa surat keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang terbit 1982.
Hanya saja, dari 55 warga tersebut, baru empat orang yang terbit sertifikatnya. Menurutnya, warga juga rutin membayarkan kewajiban pajak bumi dan bangunan (PBB) atas tanah yang ditempati hingga sekarang.
(irb/gsp)