Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kerap menyita satwa dari perdagangan ilegal atau yang diserahkan langsung oleh masyarakat. Satwa sitaan tersebut biasanya dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Sebelum dilepasliarkan, satwa sitaan tersebut direhabilitasi terlebih dahulu di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tabanan atau dikenal juga dengan sebutan Bali Wildlife Rescue Center (BWRC). Di tempat inilah, satwa hasil sitaan ditangkarkan sementara waktu sebelum dinyatakan pantas untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Sebentar atau lamanya tahapan ini bergantung pada kemampuan satwa melakukan adaptasi. "Sebelum dilepasliarkan, (satwa) direhabilitasi dulu dengan teman-temannya. Di sini temporari (sifatnya)," jelas drh. Ayu Risdasari Tiyar Noviarini, Kamis (5/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Noviarini yang juga manajer pengelola PPS Tabanan ini menyebutkan, sampai saat ini ada sekitar 60 ekor satwa yang ditangkar. Sebagian besarnya satwa dari bangsa aves atau burung.
"Kakatua, elang, jalak Bali. Ada juga mamalia seperti binturong, beruang, monyet ekor panjang. Kemudian reptil seperti piton dan buaya air tawar," ujarnya merincikan.
Dari puluhan ekor satwa yang ditangkar, Noviarini menyebutkan ada yang telah lama menghuni PPS Tabanan. Bahkan ada yang sudah sekitar 10 tahun. "Seperti kakatua," jelasnya.
Selain karena adaptasinya yang lama, proses translokasi atau pemindahan satwa dari satu tempat ke tempat lainnya juga memerlukan waktu yang lama. "Kebanyakan (satwa) berasal dari Maluku, Papua, wilayah Indonesia timur. Susah untuk mengirimkan ke sana. Karena belum ada pusat rehabilitasi yang bisa menerimanya," imbuh Noviarini.
Belum lagi, lanjutnya, kondisi satwa yang dibawa ke PPS berbeda-beda dari sisi kesehatannya. Ada yang sakit, luka, atau cacat.
"Ada satu burung Elang Laut yang sayapnya luka. Itu hasil rescue dari warga yang menemukannya di kaki gunung Batukaru. Pas datang kami obati. Sekarang sudah sehat. Tinggal menunggu terbangnya bagus lagi," jelasnya.
PPS Tabanan yang berlokasi di Jalan Teratai, Banjar Dukuh, Desa Dauh Peken, Tabanan, menerima berbagai jenis satwa, kecuali penyu. Kalaupun ada, penyu tersebut akan diarahkan ke pusat penangkaran seperti Yeh Gangga atau Serangan.
"Karena di sini kami tidak punya kendang yang tepat. Kalau ada kami akan bawa ke pusat penangkarannya. Seperti di Yeh Gangga atau Serangan. Kalau penyu pusat penangkarannya di Bali sudah relatif banyak," imbuhnya.
Sejak berdiri pada 2005 dan dikelola Friends of the National Parks Foundation (FNPF) pada 2011, PPS Tabanan telah banyak merawat satwa sitaan atau serahan dari masyarakat. Selain itu, PPS Tabanan juga telah melakukan pelepasliaran sejumlah satwa ke beberapa daerah.
"Ada Elang dan Trenggiling. Kalau primata, ada Lutung yang kami serahkan ke pusat rehabilitasinya di Jatim, Kukang di Jawas Barat, Siamang di Sumatera Barat," jelas Noviarini.
Di balik fungsinya sebagai tempat singgah, PPS Tabanan yang sehari-harinya dioperasikan oleh 5 petugas itu harus melakukan perawatan harian dan kesehatan satwa, termasuk pemberian pakan. Beberapa satwa yang dirawat seperti elang memerlukan daging sebagai makanannya.
Berbagai keperluan untuk perawatan aneka satwa itu bisa memerlukan biaya hingga Rp 20 juta per bulan. Bila dihitung dengan keperluan gaji, perawatan medis, dan perbaikan kendang, kebutuhan anggaran bisa mencapai Rp 50 juta per bulan.
"Kalau kendala mungkin lebih ke pendanaan. Meskipun donatur dan relawan ada, pendanaan terkadang bisa kurang. Seperti saat pandemi COVID-19 kemarin. Itu masa-masa sulit," pungkasnya.
Sebagai informasi, PPS Tabanan juga sempat menjadi tempat singgah buaya muara (Crocodylus porosus) yang terdampar di Pantai Padma, Legian, Bali, pada Rabu (4/1/2023). Namun, buaya yang dievakuasi oleh BKSDA Bali itu dinyatakan mati sehari kemudian.
(iws/gsp)