"Kami memang buatkan sarang telur semi alami di KPP Kurma Asih, sehingga harapannya dapat menetas seluruhnya. Rata-rata dalam satu sarang sekitar 90-100 persen telur menetas," kata Koordinator KPP Kurma Asih Desa Perancak I Wayan Anom Astika Jaya, Kamis (5/1/2023).
Anom menjelaskan, penyu yang bertelur di sepanjang pesisir Jembrana merupakan jenis penyu hijau (Chelonia mydas). Jumlah telur yang menetas di penetasan semi alami tergantung dari proses awal relokasi. Telur penyu akan lebih banyak menetas jika direlokasi sebelum 6 jam setelah indukannya bertelur.
"Jika relokasi lebih cepat, lebih baik," jelasnya.
Proses penetasan telur penyu, kata dia, juga dipengaruhi kondisi seperti kondisi cuaca dan temperatur pasir yang digunakan. Kebersihan sarang juga menentukan, terutama dari semut yang bisa membuat tukik dari telur yang baru menetas mati.
"Jadi kita juga harus tetap menjaga sarang semi alami ini tetap bersih dan dicek setiap harinya," kata Anom.
Jumlah telur penyu yang berhasil direlokasi dan ditetaskan setiap tahunnya juga mengalami penurunan. Pada 2020, telur penyu yang direlokasi sebanyak 315 sarang, 2021 turun menjadi 275 sarang, berlanjut pada 2022 menjadi 264 sarang.
"Kondisi ini dipengaruhi cuaca, kondisi pantai dan yang mendominasi adalah habitat yang rusak akibat ulah manusia," ujarnya.
Selain itu, abrasi pantai serta penanganan abrasi dengan sendaran pantai juga mempengaruhi produktivitas penyu bertelur. Hal itu karena tempat penyu untuk bertelur menjadi berkurang.
"Penyu itu butuh pantai landai. Ketika sudah ada senderan, pasti tidak bisa naik untuk bertelur," paparnya.
Faktor berikutnya adalah kondisi pantai yang tercemar sampah plastik. Menurutnya, beberapa kasus penyu mati ditemukan akibat memakan sampah plastik.
"Selain berbahaya untuk penyu, hewan lain serta seluruh ekosistem di laut juga sangat dipengaruhi akibat pencemaran sampah plastik ini," tandasnya.
(iws/gsp)