Tampil di Hari Konservasi Alam Nasional, Karinding Hipnotis Warga Jembrana

Tampil di Hari Konservasi Alam Nasional, Karinding Hipnotis Warga Jembrana

I Ketut Suardika - detikBali
Kamis, 01 Sep 2022 06:40 WIB
Karinding, alat musik tradisional khas Jawa Barat, menghipnotis penonton saat tampil dalam rangkaian hari konservasi alam nasional (HKAN), di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Rabu (31/8/2022) malam.
Karinding, alat musik tradisional khas Jawa Barat, menghipnotis penonton saat tampil dalam rangkaian hari konservasi alam nasional (HKAN), di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Rabu (31/8/2022) malam. Foto: I Ketut Suardika
Jembrana - Karinding alat musik tradisional khas Jawa Barat menghipnotis penonton saat tampil dalam rangkaian hari konservasi alam nasional (HKAN) di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Rabu (31/8/2022) malam.

Penonton yang datang, tidak hanya peserta HKAN tetapi juga warga Jembrana. Warga antusias menonton karena seni musik khas Jawa Barat ini baru pertama kalinya di Jembrana yang bisa disaksikan dan dinikmati langsung.

Tidak hanya bagi warga yang baru pertama kali melihat langsung seni musik tradisional ini, para seniman yang memainkan alat musik ini, mengaku juga baru pertama kalinya ke Bali memainkan alat musik karinding di momen HKAN.

Karinding adalah alat musik khas Jawa Barat yang terbuat dari pelepah daun enau atau kawung. Atau bisa juga dibuat dari bilahan bambu kecil. Karinding dalam bahasa sunda, dari kata "ka ra da hyang". Artinya dengan diiringi doa Sang Maha Kuasa.

Namun ada juga yang mengartikan sumber bunyi, terdiri dari kata "ka" diartikan sumber dan rinding sebagai bunyi.
"Karinding bukan sekadar alat musik, tetapi juga memiliki filosofi mendalam," kata Rahmat Kurnia Ketua Karinding Patanjala asal Jawa Barat ditemui detikBali usai tampil di rangkaian HKAN.

Tidak hanya alat musiknya, cara memainkan alat musik ini juga unik. Pada ruas tengah karinding diletakkan pada bibir, lalu bagian ujung ruas paling kanan ditepuk hingga jarum karinding bergetar.

Suara yang dihasilkan karinding, suara dengan tingkat menggunakan low decibel. Suara tingkat itu disebut juga suara ultrasonik yang getarannya hanya bisa didengar serangga.

"Karinding itu ada tabuhan-tabuhan yang memang itu diperuntukan untuk ritual. Nah ritual ini, ketika kita masuk di kawasan yang kita anggap sakral dan suci. Kalau dari perspektif negara itu konservasi. Ada tetabuhan tonggeret (serangga) dan bebangkongan (katak).," ungkapnya.

Karinding ini pada awalnya berdasarkan sejarahnya, alat musik yang digunakan untuk mengusir rasa bosan para petani saat menunggu padi di sawah dari burung pemakan padi. Pada perkembangannya memiliki fungsi sosial. Yakni, sebagai salah satu bagian dari kekayaan alat musik tradisional masyarakat Sunda.

Konon, karinding merupakan salah satu alat yang telah digunakan karuhun 'nenek moyang' sejak sebelum ditemukannya alat musik tradisional kecapi. Usia kecapi sendiri sudah mencapai lebih dari 500 tahun yang lalu. Jadi, usia alat musik tradisional karinding sudah lebih tua dari 600 tahun.
Alat musik karinding memiliki filosofi yakin, sabar dan sadar. Merupakan representasi dari tiga bagian geopolitik gunung.

Dalam bahasa Sunda terdapat istilah. Leuweung (hutan) larangan (hutan sebagai sumber) Leuweung larangan tempatnya spiritualisme maka harus dipegang dengan yakin.

Leuweung tutupan (hutan sebagai cadangan) hutan tutupan tempatnya ilmu maka harus sadar dan Leuweung baladahan (hutan sebagai tempat berkebun dan bertani), Leuweung baladahan tempatnya usaha maka harus sabar.

Dari filosofi itulah norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, hukum waktu, hukum menetapkan kenegaraan. Kemudian menentukan demografi kependudukan. Maka dari itu karinding bukan sekedar alat musik tapi juga sebagai pedoman pengelolaan alam dan lingkungan hidup.


(nor/nor)

Hide Ads