dr Agus bahkan menilai selama ini banyak ditemui kasus penderita HIV yang berhenti melakukan pengobatan. Terlebih, untuk kasus HIV sendiri dibutuhkan pengobatan jangka panjang dengan mengkonsumsi obat, yakni Antiretroviral (ARV). ARV sendiri, kata dr Agus, berfungsi untuk menghambat replikasi pertumbuhan virus di tubuh.
"Kadang-kadang saya bertemu pasien yang sudah diobati selama tiga bulan, bosenlah dia berobat dan mendapatkan iming-iming dari luar untuk berhenti minum obat sehingga pasien tidak lagi datang ke kami. Itu banyak yang seperti itu. Akhirnya pada periode itu kesehatannya buruk dan menularkan lagi kepada orang lain," ucapnya.
Menurutnya, banyak variabel yang menyebabkan pasien tak lagi ingin diobati. Misalnya seperti adanya informasi seperti jika sering mengkonsumsi obat akan dapat merusak ginjal dan lain sebagainya. Hal semacam itulah yang membuat pasien malas untuk minum obat.
"Itu yang banyak tidak dipahami masyarakat kita dan ini sebenarnya tergantung dari tingkat pendidikan juga. Saya banyak punya pasien orang asing, mereka paham kalau untuk dia hidup, dia harus tetap di maintenance dengan obat ini. Karena untuk bisa hidup normal seperti orang lain dia harus minum ARV," katanya ketika dihubungi detikBali, Minggu (28/8/2022).
Ia memaparkan, HIV sendiri merupakan virus yang melemahkan sistem daya tahan tubuh dan virus tersebut menyerang sel yang bertugas untuk memproduksi sistem kekebalan tubuh. Sehingga daya tahan tubuh akan turun dan mengakibatkan mudahnya terjadi infeksi-infeksi yang lain.
Menurutnya, jika daya tahan tubuh kurang bagus dan rendah, maka akan mudah terjadi penyakit yang lain seperti diare, TBC, dan penyakit infeksi oportunistik. Penyakit tersebut merupakan penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman dan sebenarnya tidak berbahaya untuk tubuh apabila tubuh dalam kondisi sehat. Ia menyebut, HIV akan memfasilitasi terjadinya penyakit-penyakit keganasan.
"Obat untuk virus itu sudah ada, yaitu ARV dan sudah ada sejak tahun 1989. Sampai sekarang bahkan sudah ada 30-40 jenis obat. Kalau obat ARV diberikan maka jumlah virus akan menurun tetapi tidak bisa dihilangkan dari tubuh. Artinya, ketika virus tersebut sudah masuk ke dalam tubuh, berintegrasi dengan tubuh, virus tersebut akan berkembang biak. Dan perkembangbiakan tersebut dapat dicegah dengan obat ARV," ungkapnya.
dr Agus menuturkan, adapun kunci dalam mencegah penyakit HIV, yakni dengan melakukan hubungan seksual yang aman dan nyaman. Sementara, untuk penyebaran virus dari transfusi darah, kata dr. Agus terbilang kecil kemungkinannya karena darah dari pendonor pasti diskrining oleh PMI.
Kemudian, penularan dari alat-alat kesehatan juga tidak mungkin dikarenakan alat-alat yang telah disterilisasi. Menurutnya, kemungkinan penularan yang paling besar untuk penyakit tersebut, selain dari hubungan seksual, yakni penularan dari ibu ke anak.
"Paling besar kemungkinannya adalah penularan dari hubungan seksual dan dari Ibu ke anaknya," katanya.
Oleh karena itulah, kata dr Agus, pemerintah telah membuat program agar semua ibu hamil harus diperiksa HIV Aids dengan tujuan untuk mencegah penularan. Selain itu, pemerintah juga memiliki program yang dimana pada tahun 2030 orang-orang yang beresiko HIV sebanyak 95 persennya harus dites dan diobati.
"Saya bekerja hampir 22 tahun untuk penyakit ini. Saya kira program pemerintah sudah banyak dan bagus sekali. Hanya saja kembali lagi kepada masyarakat kita. Kuncinya sebenarnya ada pada pendidikan karena kalau memang dia aware pada kesehatan tentunya dia tidak akan melakukan aktivitas-aktivitas yang beresiko dan kalaupun dia melakukan aktivitas yang beresiko, dia bisa segera memeriksakan diri dan diobati," pungkasnya.
(nor/nor)