Terminal LNG Ditolak Warga, Koster Sebut Energi Listrik Bali Pas-pasan

Terminal LNG Ditolak Warga, Koster Sebut Energi Listrik Bali Pas-pasan

I Wayan Sui Suadnyana - detikBali
Senin, 18 Jul 2022 17:49 WIB
Gubernur Bali Wayan Koster.
Gubernur Bali Wayan Koster. Foto: Dok. Pemprov Bali
Denpasar - Gubernur Bali Wayan Koster memaparkan kondisi energi listrik di Pulau Dewata saat merespons adanya penolakan terminal khusus (tersus) gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di kawasan hutan bakau (mangrove) Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Menurut Koster, cadangan kelistrikan Bali dalam kondisi yang pas-pasan.

"Dalam konteks ini saya perlu menyampaikan, Bali sekarang ini memiliki ketersediaan energi 1.150 megawatt. Kebutuhan maksimal kita sekarang saat normal sebelum pandemi itu 940 megawatt dan 30 persennya itu harus ada cadangannya. Jadi saat ini Bali memiliki cadangan yang pas-pasan," kata Koster dalam rapat paripurna DPRD Bali, Senin (18/7/2022).

Bahkan menurut Koster, dari ketersediaan energi di Bali sebesar 1.150 megawatt, 300 megawatt lebih disalurkan dari luar Bali yakni dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Paiton yang berada di Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Energi sebesar 300 megawatt lebih itu disalurkan ke Bali melalui kabel laut.



Baginya, Bali tidak bisa secara terus-menerus bergantung dengan energi dari daerah luar. Menurut Koster, Bali ke depan harus bisa menjadi daerah yang mandiri energi dengan energi bersih, bukan yang bersumber dari batubara atau fosil. Energi bersih diperlukan agar udara yang dihirup warga juga bersih, hidup sehat dan citra pariwisata Bali juga diharapkan dapat membaik.

Apalagi, kata Koster, penduduk Bali yang hanya sebesar 4,3 juta telah mendatangkan wisatawan hampir mencapai 17 juta pada 2019 lalu sebelum pandemi, baik dari domestik maupun mancanegara. Karena itu kehadiran wisatawan di Bali lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Koster pun berkeinginan agar pemenuhan kebutuhan energi, baik untuk domestik maupun pariwisata dan industri di Bali harus memiliki kepastian serta keberlanjutan.

"Ini yang harus menjadi titik fokus perhatian kita semua yang saya yakin banyak yang tidak sadar. Jadi agenda ke depan ini buat saya itu adalah bagaimana melakukan proteksi secara politik ekonomi sosial dan budaya Bali ini ke depan supaya Bali ini tidak terlalu banyak bergantung dari luar. Makin banyak kita bergantung ke luar, makin berbahaya buat kehidupan kita di masa yang akan datang untuk anak cucu kita," ujarnya.

Bahkan, Koster mengaku sempat menolak adanya tawaran penambahan energi listrik sebesar 500 megawatt dari pemerintah pusat yang hendak disalurkan dari luar daerah ke Bali. Koster menolak itu dan menegaskan bahwa sumber energi dari PLTU Paiton tidak akan difungsikan sebagai saluran utama.

"Saya bilang, 340 megawatt dari Paiton itu saja, karena saya akan membangun pembangkit tenaga listrik, ketika sudah mampu pembangkitnya memenuhi kebutuhan listrik di Bali maka yang dari Paiton itu akan saya fungsikan sebagai reserve sharing. Tidak akan lagi menjadi saluran utama, hanya disalurkan ketika terjadi masalah di Bali," tuturnya.

Sementara itu, jika dalam kondisi normal, energi kelistrikan di Bali akan dipenuhi dari berbagai pembangkit lokal. Sumber listrik yang dari PLTU Paiton akan difungsikan ke luar sehingga sistemnya menjadi dua arah. Koster mengaku melakukan hal ini dikarenakan saluran listrik dari Jawa ke Bali dengan sistem kabel laut sangat berbahaya.

"Jadi ini menjadi agenda besar kita. Mengapa ini kita lakukan, karena ini disalurkan dengan kabel bawah laut, ini berbahaya, sangat mudah untuk membuat Bali ini gelap. Tidak perlu waktu satu jam orang turun ke bawah motong itu kabel 30 menit selesai, gelap Bali," ungkapnya.

"Pernahkan kita memikirkan itu? Saya yakin banyak yang belum. Saya memikirkan sejauh itu, bagaimana memproteksi Bali ini. Itulah sebabnya saya tengah berjuang keras agar pembangkit tenaga listrik dibangun di Bali dengan energi bersih. Yang di paiton itu tidak saja kita bergantung tapi yang dipakai adalah bahan bakar fosil. Jadi itu mengotori alam Bali," tegas Koster.




(nor/nor)

Hide Ads