Suka Duka Wayan Ana; 35 Tahun Jadi Penerjemah WNA di Pengadilan

Suka Duka Wayan Ana; 35 Tahun Jadi Penerjemah WNA di Pengadilan

Miechell Octovy Koagouw - detikBali
Rabu, 01 Jun 2022 11:05 WIB
Penerjemah Bahasa Hukum I Wayan Ana saat ditemui di Pengadilan Negeri Denpasar
Penerjemah Bahasa Hukum I Wayan Ana saat ditemui di Pengadilan Negeri Denpasar (Foto: Miechell Octovy Koagouw)
Denpasar -

Meski berpenampilan sederhana dan tak punya background atau latar belakang ilmu hukum secara formal, I Wayan Ana (57) jadi 'legend-nya' para penegak hukum.

Pria yang meraih gelar Magister Ilmu Linguistik di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Unud) ini juga bisa dibilang sebagai salah satunya pioneer-nya law interpreter atau juru lisan bahasa hukum di Pengadilan Negeri Denpasar.

Sejak 1987 silam, pria asal Desa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Bali ini sering kali dilibatkan untuk menjadi penyambung bahasa bagi warga negara asing (WNA) yang tersandung kasus di pengadilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan saking berpengalaman, Wayan Ana bukan saja diminta menjadi penerjemah di PN Denpasar, tetapi ia juga sering kali diminta menjadi penerjemah lisan di kabupaten lain dan bahkan di luar Bali.

Sejumlah kasus hukum itu mulai kasus narkoba, keimigrasian, perkelahian hingga pencurian, dan lain-lain.

ADVERTISEMENT

Salah satu klien Wayan Ana selama menjadi penerjemah, yakni saat dirinya diminta menjadi penerjemah Ratu Mariyuwana 4,2 kilogram asal Australia, Schapelle Leigh Corby dan Bali Nine.

Kenyang pengalaman, suka duka selama 35 tahun menjalani profesi menjadikan Wayan Ana punya banyak cerita.

Salah satunya ketika ia harus tetap menjalani profesinya saat pandemi Covid-19.

Wayan Ana: Sidang Hybrid Butuh Kualitas Audio Sempurna

Meski sudah berpengalaman, namun tiga tahun belakangan ini, ia sempat merasakan kendala sangat besar.

Masalah yang dia hadapi itu terutama mengenai kualitas audio atau suara ketika persidangan berlangsung secara hybrid (online) di pengadilan.

Hal terburuk yang akan mengemuka dari masalah ini menurutnya adalah kurang jelasnya sebuah kesaksian, jawaban saksi atau terdakwa tidak sesuai dengan pertanyaan hakim maupun jaksa.

Begitu pula sebaliknya, kata Wayan Ana, apa yang diungkapkan terdakwa maupun saksi yang kebetulan tidak dapat menghadiri sidang tidak jelas terdengar oleh hakim maupun jaksa di ruang sidang.

"Artikulasi dan lain sebagainya jadi tidak jelas. Kalau sidang offline seseorang hanya perlu mengeraskan suaranya, tapi saat sidang online atau hybrid pastinya fasilitas audio harus sempurna karena sangat menentukan. Itulah kendala yang saya rasakan sebagai juru bahasa selama persidangan hybrid tiga tahun belakangan ini," tutur I Wayan Ana kepada detikbali di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (31/5/2022).

Berikutnya, masalah yang muncul kata Wayan Ana, bisa juga berupa itikad tidak baik dari oknum yang berada di luar persidangan dengan memberikan keterangan tidak jelas memanfaatkan alasan suara dari ruang sidang tidak jelas di tempat mereka.

"Jadi bukan dalam persidangan saja kendalanya, kemungkinan seperti (luar persidangan) ini dapat terjadi. Saya ambil contoh, karena saya juga seorang dosen, bagaimana kenakalan-kenakalan mahasiswa itu memanfaatkan alasan audio ketika kuliah online maupun hybrid," ungkap Wayan Ana.

Iapun menengarai, problem seperti ini bisa berpeluang terjadi akibat malas atau bosan mengikuti materi perkuliahan. Ketika sesi tanya jawab kata Ana banyak mahasiswa beralasan tidak jelas pertanyaan yang diajukan maupun sejenisnya.

"Tapi ketika diajak foto bersama kenapa mendadak semua menjadi jelas terang benderang. Nah, ini contoh mudah saja, lantas bagaimana dalam persidangan? Pastinya perlu waspada dengan segala kemungkinan tersebut," sambung Wayan Ana.

Apalagi jika menghadapi kasus yang melibatkan ekspatriat WNA, kejelasan audio memang terasa sekali pengaruhnya apabila bermasalah, karena berkaitan erat dengan bahasa-bahasa hukum lintas negara yang tentunya sangat berbeda antara Indonesia dan negara-negara lainnya.

Pria yang kini sedang menyelesaikan program S (Strata-3) Terjemahan Hukum di Unnud ini kembali mencontohkan berdasarkan apa yang pernah dialaminya, ketika seorang WNA tidak terima jika terdakwa disebut terduga dan pelaku.

"Itulah perbedaannya, kalau di luar negeri sana pelaku langsung disebut suspect (tersangka, red) sejak awal. Sedangkan di Indonesia ada tahapannya, mulai disebut pelaku atau terduga, meningkat jadi tersangka, dan begitu kasus P-21 (lengkap) ia menjadi terdakwa, dan saat keputusan inkrah (berkekuatan hukum tetap) jadi terpidana. Bagaimana menjelaskan hal itu dengan kapasitas audio buruk? Pastinya akan sulit,"ungkap Wayan Ana.

Solusinya, kata Wayan Ana, peralatan menyangkut kualitas audio dalam persidangan hybrid maupun full online harus memadai.

"Minimal mikrofon omni direction. Artinya mikrofon satu di tengah yang dapat menangkap suara jaksa, hakim, pengacara, saksi, sampai terdakwa. Ditambah lagi kamera usahakan kualitas bagus bukan standar webcam," imbuh Wayan.

Sementara untuk jaringan internet, di manapun pasti akan mengalami gangguan, tapi ketika gangguan jaringan internet teratasi, audio menurutnya akan jelas terdengar karena dasar kualitas audio yang dimiliki itu bagus.

Namun ia mengingatkan, keadaan ini tidaklah serta merta menjadi kekurangan dari sebuah instansi bersangkutan, apalagi jika bersinggungan dengan fasilitas lembaga pemerintah. Wayan Ana menyadari, pengadaan peralatan pastinya tergantung anggaran yang dikucurkan pemerintah baik daerah maupun pusat.

"Masih ada yang cukup bagus, contohnya di Kejaksaan Gianyar. Mereka menggunakan kamera besar, kita duduk juga persis seperti dalam persidangan. Terdakwa semisal online dari rumah tahanan, saya interpreter di ruang sidang, hakim juga ada di tengah, jaksa, dan audio mereka di tengah,"terang Ana.

Selama proses persidangan di Gianyar, sesuai pengalamannya, proses persidangan jarang menemukan mute atau jeda dan masalah teknis lainnya. Semuanya kata Ana berjalan lancar.

"Tapi untuk sinyal internet, saya kira sama saja. Ketika memang sinyal itu bermasalah, pasti akan jelek audionya. Namun saat sinyal sudah bagus, audio kembali jelas terdengar," kata Wayan Ana.

Untuk itu, sebagai penerjemah, ke depan Wayan Ana berharap, kualitas audio dalam persidangan hybrid maupun full online dapat segera diperbaiki karena menyangkut proses persidangan.

"Saya berharap ini dapat diperbaiki karena sidang hybrid ini pasti masih lama diberlakukan," tukas Ana.




(dpra/dpra)

Hide Ads