Pondok Pesantren Bali Bina Insani menjadi salah satu gambaran bagaimana toleransi antarumat beragama berkembang di Bali yang penduduknya mayoritas beragama Hindu. Gambaran tersebut bisa dilihat dari kegiatan belajar mengajar para santri pada pondok pesantren yang melibatkan para guru nonmuslim.
Dari 73 guru yang mengajar di pondok pesantren, baik pada Madrasah Aliyah (SMA) dan Madrasah Tsanawiyah (SMP), 16 orang di antaranya guru beragama Hindu. Tidak hanya itu, lokasi pondok pesantren ini juga ada di tengah-tengah pemukiman yang penduduknya mayoritas memeluk agama Hindu, yakmi di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
"Di pesantren ini ada 73 guru yang mukim dan pulang pergi. Dari jumlah itu, guru yang beragama Hindu ada 16 orang sampai sekarang ini," jelas Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Bali Bina Insani, Yuli Saiful Bahri, Minggu (3/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan untuk memperkuat silaturahmi antara guru dan santri, pihak yayasan berusaha mempertemukan guru dan santri di tingkat Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah. Sehingga dalam periode tertentu, guru yang tadinya mengajar di Madrasah Tsanawiyah akan mengajar di Madrasah Aliyah. Begitu juga sebaliknya.
"Kami lebur gurunya. Kecuali (guru) yang tersertifikasi di Tsanawiyah dan Aliyah. Inipun kami upayakan ada pertemuan di antara kedua tingkatan. Sampai sekarang itu kami lakukan," imbuhnya.
Menurut Yuli, membahas soal toleransi yang berkembang di Pondok Pesantren Bali Bina Insani tidak bisa lepas dari sejarah pendirian sekolah asrama tersebut. Kebiasaan bertoleransi yang berkembang di Pondok Pesantren Bali Bina Insani telah terbentuk ketika dirintis pada 1990 oleh H. Ketut Immaduddin Djamal. Ada juga peran serta Hj. Sofiah Dewa Pere yang menawarkan bangunan dan lahan seluas dua are di Desa Sembung yang bersebelahan dengan Desa Meliling, tempat pondok pesantren berada sekarang.
Di Desa Sembung, pondok pesantren saat itu berada di tengah-tengah komunitas Hindu.
"Jadi sudah dimulai dari awal," kata Yuli Saiful Bahri yang juga bertugas sebagai Kepala Madrasah Aliyah di pondok pesantren tersebut.
Saat itu, jumlah santri masih sembilan orang yang merupakan anak yatim piatu. Dalam kurun waktu tiga tahun, jumlah santri telah berkembang menjadi 30 orang. Sehingga bangunan yang ada sudah tidak memadai.
Pada 1993, dimulailah proses pencarian lahan dibantu H. Jumari yang kebetulan tumbuh dan besar di Desa Meliling. Secara bertahap lahan pondok pesanten yang ada sekarang dibeli. Luas lahan pertama kurang lebih 30 are.
Pembangunan pondok pesantren kemudian dimulai pada 1995. Setahun kemudian, pada 1996, para santri yang semula tinggal di Desa Sembung pindah ke tempat pondok pesantren berada sekarang.
Setahun berikutnya, atau pada 1997, pondok pesantren mulai membuka Madrasah Tsanawiyah. Di saat yang sama, keponakan dari mendiang suami Hj. Sofiah Dewa Pere, bertugas sebagai Kepala SMP Negeri 1 Kerambitan.
"Beliau bertemu H Ketut Jamal dan mengusulkan kenapa tidak membangun sekolah Islam sendiri untuk SMP-nya (Madrasah Tsanawiyah). Waktu itu kami jawab ingin seperti itu tapi kami juga harus sadar, kami belum punya banyak SDM. Dan beliau bilang saya pun di SMP nanti saya droping (guru)," jelasnya.
Sejak saat itu, Pondok Pesantren Bali Bina Insani telah memiliki para guru nonmuslim. Beberapa di antaranya Made Dusak, seorang guru SMAN 1 Kerambitan yang kini telah menjadi pemangku Hindu.
"Beliau sempat mengabdi di sini. Sebelumnya ada Pak I Nyoman Neser dari SMP Negeri 2 Kerambitan. Mereka mengajar sebagai guru mata pelajaran umum. Bahkan saat itu, kami sudah punya guru muatan lokal Bahasa Bali," sebutnya.
Bahkan kini, salah seorang guru yang beragama Hindu, Ni Made Suardani, diangkat menjadi Wakil Kepala Madrasah Tsanawiyah Bidang Sarana Prasarana.
"Dalam periode satu tahun ini, Beliau diangkat menjadi Wakil Ketua Biro Rumah Tangga Pondok Pesentren. Jadi di pesantren itu biro-biro yang membantu operasional," sambung Yuli.
Dia menambahkan, sejak didirikan sampai dengan sekarang, warga pondok pesantren telah terbiasa dengan toleransi. Para guru nonmuslim mengajar seperti di sekolah lainnya. Tanpa harus mengenakan atribut yang sama dengan santri atau guru muslim lainnya. Salah satunya, guru non muslim perempuan tidak menggunakan hijab.
Yuli menyebutkan, toleransi yang telah ada sejak awal itu tetap terpelihara dengan baik. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, para guru dan santri bahkan biasa makan bersama pada jam istirahat siang.
"Justru selama pandemi ini kami tidak bisa megibung. Biasanya kalau Idul Adha kami ada tradisi megibung (makan bersama dalam satu wadah). Guru yang beragama Hindu ikut. Termasuk para pecalang yang ikut berjaga," tegasnya.
Yuli menambahkan, toleransi yang berkembang di Pondok Pesantren Bali Bina Insani tidak hanya bisa dilihat dari keberadaan para guru nonmuslim saja. Namun tercermin juga dalam beberapa aktivitas keseharian. "Itu (keberadaan guru nonmuslim) kan salah satu bonusnya saja," pungkas Yuli.
(nke/nke)