Perpisahan Abadi Ngurah Rai dan Istri Jelang Puputan Margarana

Liputan Khusus Puputan Margarana (14)

Perpisahan Abadi Ngurah Rai dan Istri Jelang Puputan Margarana

Agus Eka Purna Negara - detikBali
Rabu, 26 Nov 2025 06:00 WIB
Kolase foto I Gusti Ngurah Rai dan istri, Desak Putu Kari, seperti dipotret dari dokumen keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung.
Kolase foto I Gusti Ngurah Rai dan istri, Desak Putu Kari, seperti dipotret dari dokumen keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung. (Foto: Agus Eka/detikBali)
Badung -

Di balik keberanian I Gusti Ngurah Rai sebagai panglima muda yang ditakuti Belanda, tersimpan kisah keluarga yang menguras hati. Perpisahan terakhirnya dengan sang istri, Desak Putu Kari, menjadi babak paling sunyi dari rangkaian panjang perjuangan menuju Puputan Margarana.

Saat itu Desak Putu Kari tengah mengandung anak ketiga. Ngurah Rai tahu betul bahwa setiap langkah yang ia ambil dalam medan perang bisa menjadi langkah terakhir. Intuisi itu membuatnya meminta sang istri kembali ke Puri Agung Carangsari demi keselamatan keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anak Agung Nanik Suryani, cucu Ngurah Rai, masih merasakan getirnya momen itu. "Beliau berpesan kepada istrinya, 'jangan dipikirkan kapan pulang karena beliau punya tugas untuk bangsa dan negara'," katanya, mengingatkan bahwa pengorbanan seorang pejuang selalu menuntut harga yang lebih mahal dari rumah sendiri.

ADVERTISEMENT

Pertemuan singkat pada pagi 2 November 1945 menjadi perpisahan terakhir mereka. Ngurah Rai baru sehari menjabat Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil ketika memilih pulang mendadak ke rumah dinas di Jalan Surapati, Banjar Kayumas, Denpasar. Di sanalah ia mengucapkan salam terakhir sebagai suami, ayah, dan panglima.

"Begini Putu saya akan berangkat ke medan perang melawan musuh penjajah. Putu harus tabah berada di rumah sambil mengasuh anak-anak kita," begitu pesan Ngurah Rai seperti dikisahkan dalam buku I Gusti Ngurah Rai Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Desak Putu Kari yang sedang menyiapkan makan siang tak mampu menahan tangis. Enam tahun pernikahan, dua anak balita, dan kandungan yang semakin besar-semua itu menambah berat perpisahan yang kian terasa tak wajar bagi pasangan muda.

Ngurah Rai mengecup kening istrinya, mencium perut yang mengandung putra bungsunya, lalu melangkah pergi. Setelah mobil dinas itu hilang, Desak Putu Kari harus meninggalkan rumahnya sendiri.

Dengan tubuh yang lelah dan perut menonjol, ia mulai berjalan menuju Puri Carangsari, menggendong putranya I Gusti Ngurah Nyoman Tantera dan menuntun putra sulung I Gusti Ngurah Gede Yudhana. Hanya seorang parekan, I Sabit, yang menemaninya.

Perjalanan itu sangat berat. Kondisi ekonomi dan keamanan membuat mereka sulit mendapatkan sekadar tegukan air atau tempat beristirahat. Banyak warga takut membantu karena takut dianggap membantu keluarga pejuang.

Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai (berdiri empat dari kiri) berpose bersama tekan seperjuangannya, dipotret dari arsip keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung.Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai (berdiri empat dari kiri) berpose bersama tekan seperjuangannya, dipotret dari arsip keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung. Foto: Agus Eka/detikBali

Dalam perjalanan, mereka harus melewati sungai dengan jembatan bambu rapuh. Bantuan nasi bungkus dari sebuah rumah hanya datang sebentar, sebelum mereka didesak pergi agar tak menimbulkan kecurigaan Belanda.

Yudana, putra sulung Ngurah Rai, mengingat jelas keadaan itu. "Dengan berjalan kaki, kami menuju ke kawasan Banjar Dajan Tangluk di Kesiman... tidak ada yang berani menerima kami," katanya dalam buku I Gusti Ngurah Rai Pahlawan Nasional.

Hanya satu keluarga yang akhirnya berani membuka pintu. Syaratnya, mereka tak boleh mengaku berasal dari Puri Carangsari atau sebagai keluarga Ngurah Rai. Setelah beberapa hari, mereka dipindahkan ke Puri Satria, Denpasar. Tak lama kemudian, Desak Putu Kari dilarikan ke Rumah Sakit Wangaya, tempat putra bungsu Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Alit Yudha, lahir.

Pengorbanan sang istri begitu besar hingga Ngurah Rai pernah berkata, bila ia kelak mendapat bintang kehormatan, maka bintang itu juga milik istrinya. I Gusti Ayu Agung Inda Trimafo Yudha, cucunya, kembali mengingat pesan itu. "Nanti kalau dapat bintang, nanti bintangnya mau diserahin ke Niang," tutur Inda menirukan cerita mendiang neneknya.

Janji itu akhirnya menjadi abadi. Setelah gugur dalam Puputan Margarana, Ngurah Rai dianugerahi Bintang Mahaputra dan gelar Brigjen TNI (Anumerta), serta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional lewat SK Presiden RI No 63/TK/1975.

Penghargaan itu bukan hanya untuk keberaniaannya, tetapi juga untuk keluarga yang menanggung sunyi perjuangan yang tak pernah kembali.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads