Di antara ratusan kisah tentang perlawanan di Puputan Margarana, ada satu cerita yang tetap hidup dalam ingatan seorang prajurit muda bernama I Gusti Bagus Saputera. Usianya kini 95 tahun, tetapi memorinya tentang komandan pasukan Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, masih setajam dulu.
Peristiwa Puputan Margarana pada 20 November 1946 bukan hanya catatan sejarah, tetapi pengalaman yang membentuk hidup Saputera. Ia masih remaja 16 tahun ketika bergabung sebagai prajurit paling bawah di pasukan TKR Sunda Kecil. Ngurah Rai, yang saat itu berusia 29 tahun, menjadi sosok yang ia hormati dari kejauhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya anggota juga tapi paling bawah prajurit paling bawah, kalau Pak Rai mayor saya prajurit paling rendah di bawah kopral, karena saya masih 16 tahun. Saya nggak pernah bicara langsung dengan beliau karena jaraknya terlalu jauh," ujar Saputera di Kantor LVRI Bali, Senin (17/11/2025).
Saputera ingat betul aura tegas Ngurah Rai. Pakaian militer rapi, sepatu yang selalu bersih, selempang yang melekat, serta senjata yang tak pernah jauh dari tubuhnya. Meski begitu, ketegasan itu tidak membuat sang komandan berjarak. Ia suka bercanda, merokok, dan menyapa siapa saja.
"Orang hormat sama beliau orang yang tinggi-tinggi (badannya), beliau cerdas orangnya, suka humor, suka menyapa orang, suka bertemu bertanya bagaimana (kabar)," kisahnya.
Pemimpin Bertubuh Kecil, Wibawa Besar
Satu hal yang membuat Saputera tak pernah lupa: postur Ngurah Rai ternyata kecil. Ia menggambarkan tinggi sang komandan sekitar 154 sentimeter, dengan berat kira-kira 45 kilogram.
"Pendek dia. Saya melihat dari jauh kagumlah melihat orang kecil kok bisa (memimpin). Berat kira-kira 45 kilogram, tapi berwibawa berkumis gitu," tuturnya.
Dan wibawa itu tidak lahir dari tubuh besar, melainkan keberanian yang tidak pernah redup. Saputera mengatakan, Ngurah Rai dihormati bukan karena pangkat saja, tapi karena prinsip-pemimpin yang menolak kompromi dengan Belanda dalam bentuk apa pun.
Di Tengah Hutan, Suara Nyanyian
Pahlawan Nasional dari Bali, I Gusti Ngurah Rai. Foto: dok. Arsip Nasional |
Ada sisi lain Ngurah Rai yang jarang muncul dalam buku sejarah: ia suka bernyanyi. Dalam suasana tegang di markas atau hutan, suara itu kadang terdengar memecah gelap malam.
"Ketika itu saya mendengar ada orang bernyanyi... oh Pak Rai. Dan yang disukai beliau itu nyanyi Karangan Bunga dari Selatan karya Ismail Marzuki," ucap Saputera.
Ia bahkan menyanyikan potongan lirik yang masih menempel di ingatannya-lagu perpisahan yang puitis, sekaligus terasa seperti pertanda.
Selain bernyanyi, Ngurah Rai dikenal kuat. Saputera mengaku pernah melihat sang komandan mengangkat meja dengan gigi, kemampuan yang membuat para prajurit muda makin segan.
Bung Karno Pun Terkejut
Saputera menutup kisahnya dengan satu anekdot yang sering ia ulang: pertemuan pertama Bung Karno dengan Ngurah Rai. Presiden kala itu sempat salah mengira orang lain sebagai Ngurah Rai karena tubuh sang komandan begitu kecil dibanding perwira lainnya.
"Salaman pertama langsung bilang 'Oh ini Ngurah Rai' kepada Pak Wisnu, dikira Pak Wisnu itu Ngurah Rai. Waktu tahu bukan dan ternyata Ngurah Rai yang di tengah terkejut Bung Karno karena kecil orangnya," kata Saputera sambil tersenyum.
Namun, justru dari tubuh kecil itulah lahir keberanian besar yang memimpin 97 prajuritnya menuju pertempuran terakhir di Margarana-keputusan yang membuat namanya abadi.
Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)












































