Liputan Khusus Puputan Margarana (13)

Puputan Margarana: Detik-detik Perlawanan Terakhir Ngurah Rai

Rizki Setyo Samudero - detikBali
Selasa, 25 Nov 2025 07:00 WIB
Sejumlah anggota keluarga dari salah satu pahlawan yang gugur berdoa saat berziarah pada Peringatan 79 Tahun Hari Puputan Margarana di Taman Pujaan Bangsa Margarana, Tabanan, Bali, Kamis (20/11/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Denpasar -

Tahun 1946 menjadi titik genting bagi Bali. Belanda datang lagi, mendarat di Sanur dengan kelengkapan senjata yang mengirim pesan jelas: mereka ingin mengambil alih pulau ini.

Di tengah situasi itu, komandan Resimen Sunda Kecil Tentara Keamanan Rakyat (TKR), I Gusti Ngurah Rai, mengambil langkah yang menentukan.

Begitu mendengar pergerakan Belanda, Ngurah Rai menemui pasukan Jepang yang baru saja menyerah. Dia meminta seluruh senjata diserahkan kepada Indonesia, tetapi ditolak.

Serangan ke Jepang pun dilakukan, namun berakhir gagal. Situasi memaksa Ngurah Rai terbang ke Jawa, mencari jalur lain untuk mendapatkan persenjataan.

Dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, ia mengumpulkan senjata. Pada April 1946, persenjataan itu digunakan untuk menyerbu markas Belanda di Kota Denpasar. Serangan mendadak itu menewaskan 45 tentara Belanda dan mengguncang kepercayaan diri mereka.

Belanda merespons dengan mengirim pesan ajakan berunding. Namun bagi Ngurah Rai, tidak ada ruang kompromi.

"Salah satu bunyi suratnya 'Cobalah Pak Rai datanglah ke Desa Plaga, di situ kita bisa berunding keputusan apa yang akan diambil, Pak Rai boleh pergi ke mana saja'," kata Ketua LVRI Bali I Gusti Bagus Saputera.

Pesan itu dibalas lewat surat yang kelak dikenal sebagai surat sakti. Isi balasannya tegas: tidak akan ada perundingan, dan Bali bukan tempat diplomasi. Ngurah Rai menulis bahwa ia hanya menginginkan Belanda angkat kaki dari Bali atau bersiap menanggung pertumpahan darah.

"Kami serahkan kebijaksanaan pemimpin kami di Jawa... Bali bukan tempat perundingan diplomatik dan saya bukan kompromis," begitu isi surat yang dikutip Saputera.

Surat itu membuat Belanda murka. Mereka membakar rumah Ngurah Rai di Carangsari, menangkap istri dan anaknya, lalu menggempur markas TKR. Ngurah Rai memimpin pasukannya melakukan long march dari barat ke timur, bergerilya hampir dua bulan. Pertempuran terjadi di banyak titik, dan prajurit gugur satu per satu.

"Belanda kekuatannya kuat sekali... ada pesawat terbang menjatuhkan bom-bom," ujar Saputera mengenang.

Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"


(dpw/dpw)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork