Pada pertengahan Mei 1946, sebuah surat dari markas militer Belanda tiba di tangan I Gusti Ngurah Rai. Isinya tampak ramah di permukaan, tetapi sarat bujuk rayu agar sang komandan gerilya turun ke meja perundingan.
Dua hari kemudian, sebuah jawaban lahir. Tegas, dingin, dan tanpa celah kompromi. Kelak surat balasan inilah yang dikenal sebagai "Surat Sakti" Ngurah Rai.
Inisiatif perundingan itu datang dari Letnan Kolonel Termeulen melalui Kapten Infanteri JBT Konig. Mereka mencoba meredam gelombang serangan Pasukan Induk MBU DPRI yang terus menekan di berbagai wilayah Bali. Bagi Belanda, Ngurah Rai adalah simpul perlawanan yang harus diredam.
Surat bertanggal 13 Mei 1946 itu diantarkan melalui sepupunya, I Gusti Ngurah Seregeg. Isinya sederhana: ajakan agar Ngurah Rai bertemu Kapten Cassa di Pelaga. Begini bunyinya:
Denpasar, 13 Mei 1946
Rai Yang Budiman,
Kami Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Karenanya kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar Desa Pelaga, kemudian di sana kita bisa saling berbicara.
Adapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukan ke mana kamu suka.
Wassalam
JBT Konig
Kapten Infanteri
Ancaman lisan turut menyertai surat itu. Jika tidak dijawab, rumah keluarga Ngurah Rai di Carangsari akan dibakar.
Simak Video "Video: Bandara Ngurah Rai Bali Remang-rmang Buntut Listrik Padam "
(dpw/iws)