Surat Balasan Ngurah Rai yang Mengubah Arah Perang di Bali

Liputan Khusus Puputan Margarana (6)

Surat Balasan Ngurah Rai yang Mengubah Arah Perang di Bali

Agus Eka Purna Negara - detikBali
Sabtu, 22 Nov 2025 06:00 WIB
Petikan Surat Sakti I Gusti Ngurah Rai, yang diabadikan di Museum Sejarah Perjuangan Puputan Margarana, Tabanan.
Petikan 'Surat Sakti' I Gusti Ngurah Rai, yang diabadikan di Museum Sejarah Perjuangan Puputan Margarana, Tabanan. (Foto: dok. Arsip Nasional)
Badung -

Pada pertengahan Mei 1946, sebuah surat dari markas militer Belanda tiba di tangan I Gusti Ngurah Rai. Isinya tampak ramah di permukaan, tetapi sarat bujuk rayu agar sang komandan gerilya turun ke meja perundingan.

Dua hari kemudian, sebuah jawaban lahir. Tegas, dingin, dan tanpa celah kompromi. Kelak surat balasan inilah yang dikenal sebagai "Surat Sakti" Ngurah Rai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inisiatif perundingan itu datang dari Letnan Kolonel Termeulen melalui Kapten Infanteri JBT Konig. Mereka mencoba meredam gelombang serangan Pasukan Induk MBU DPRI yang terus menekan di berbagai wilayah Bali. Bagi Belanda, Ngurah Rai adalah simpul perlawanan yang harus diredam.

Surat bertanggal 13 Mei 1946 itu diantarkan melalui sepupunya, I Gusti Ngurah Seregeg. Isinya sederhana: ajakan agar Ngurah Rai bertemu Kapten Cassa di Pelaga. Begini bunyinya:

ADVERTISEMENT

Denpasar, 13 Mei 1946

Rai Yang Budiman,

Kami Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Karenanya kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar Desa Pelaga, kemudian di sana kita bisa saling berbicara.

Adapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukan ke mana kamu suka.
Wassalam

JBT Konig
Kapten Infanteri

Ancaman lisan turut menyertai surat itu. Jika tidak dijawab, rumah keluarga Ngurah Rai di Carangsari akan dibakar.

Namun Pak Rai tidak bergeming. Pada 18 Mei 1946, ia merespons dengan kata-kata yang langsung menjadi bagian penting sejarah Bali.

18 Mei 1946
Kepada Yth. Toean Oversta Termeulen di Denpasar

Merdeka!
Surat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan jawaban sebagai berikut. Tentang keamanan di Bali adalah urusan kami. Semenjak pendaratan tentara tuan, pulau menjadi tidak aman. Bukti telah nyata, tidak dapat dipungkiri lagi. Lihatlah, penderitaan rakyat menghebat. Mengancam keselamatan rakyat bersama. Tambah-tambah kekacauan ekonomi mejerat leher rakyat. Keamanan terganggu, karena tuan memperkosa kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya.

Soal perundingan, kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kami di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomatik. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kami tercapai. Selama tuan tinggal di Bali, pulau Bali tetap menjadi belanga pertumpahan darah, antara kami dan pihak tuan.

Sekian, harap menjadikan maklum adanya.

Sekali merdeka, tetap merdeka! a/n Dewan Perjuangan Bali

Pemimpin,
I Gusti Ngurah Rai

Balasan tersebut menutup pintu kompromi. Ngurah Rai menegaskan Bali bukan tempat perundingan diplomatik dan dirinya bukan pemimpin yang sudi diajak tawar-menawar sementara rakyat terjepit oleh operasi militer Belanda.

Cucu Ngurah Rai, Anak Agung Nanik Suryani, mengatakan sikap tegas itu menjadi fondasi moral bagi pasukan dan rakyat.

"Dalam surat itu sudah terlihat pemikiran beliau, bahwa beliau akan bertempur sampai cita-cita tercapai," ujarnya.

Ketegasan Sang Komandan membuat Belanda mengambil langkah kejian: menangkap istri dan ketiga anaknya. Mereka dijadikan alat tekan agar Ngurah Rai menyerah. Tiga anak yang masih kecil, termasuk bayi berusia tiga bulan, diangkut ke truk tahanan.

Cucu I Gusti Ngurah Rai, IGA Agung Inda Trimafo Yudha.Cucu I Gusti Ngurah Rai, IGA Agung Inda Trimafo Yudha. Foto: Agus Eka/detikBali

"Yang saya tahu, begitu si Koneg anak buah pimpinan Belanda itu terima surat penolakan, langsung di sini (keluarga-istri) ditangkap, dipenjarakan di Tangsi Gianyar," tutur Nanik.

Pada masa awal penahanan, kondisi keluarga Ngurah Rai memprihatinkan. Mereka ditempatkan di ruang sempit dan kotor. Situasi berubah setelah pimpinan militer Belanda datang memeriksa. Keluarga Ngurah Rai diperlakukan sebagai "tahanan istimewa", diberi makanan layak dan tempat tidur bersih.

Bagi putra sulung Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Gede Yudana, masa tahanan itu justru meninggalkan kenangan ganjil. Ia bersedih ketika dibebaskan, bukan karena takut, tetapi karena tak akan lagi mendapat cokelat dan susu yang selalu diberikan penjaga.

IGA Agung Inda Trimafo Yudha, cucu dari putra ketiga Ngurah Rai, mengenang cerita sang nenek yang sempat dibentak tentara hanya karena berusaha mengambil topi bayi yang jatuh sebelum naik ke truk tahanan.

"Ayah saya baru lahir, umur 3 bulan waktu itu... 'Ya, naik, naik,' gitu," kenangnya.

Walau keluarga dijadikan umpan, Ngurah Rai tetap memilih maju. Para cucunya memahami risiko itu.

"Kalau seorang gerilyawan itu, otomatis keluarganya kan nggak diajak. Jadi kalau mau nangkap gerilyawan, sasarannya keluarga," ujar Gung Inda.

Surat sakti itu bukan sekadar tulisan. Ia adalah deklarasi perang terbuka yang memicu rangkaian peristiwa besar, dan pada akhirnya mengantar Ngurah Rai ke pertempuran terakhir di Margarana.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video: Bandara Ngurah Rai Bali Remang-rmang Buntut Listrik Padam "
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads