Hari Suci Nyepi kembali beriringan dengan Ramadan. Perayaan hari besar dua agama, Hindu dan Islam, itu sesungguhnya acap bersamaan. Barangkali Bali adalah contoh bagaimana praktik toleransi berjalan dan umat berbeda agama dapat menjalankan ibadah masing-masing dengan khidmat.
Tahun lalu, umat Hindu merayakan Nyepi saat umat Islam mulai menyambut bulan puasa. Tak ada kendala berarti. Umat Islam berjalan kaki dengan tertib ke masjid terdekat untuk salat tarawih. Pecalang, petugas keamanan adat, memastikan agar umat muslim bisa salat tarawih dengan khusyuk.
Momen serupa kembali terulang. Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1947 jatuh dua hari sebelum Idul Fitri 1446 Hijriah. Antrean kendaraan pemudik yang hendak menuju Pelabuhan Gilimanuk berbagi jalan dengan iring-iringan warga Hindu yang melaksanakan melasti, salah satu rangkaian Nyepi. Mereka saling menghargai dan menahan diri untuk tak saling serobot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitulah umat Hindu dan Islam hidup berdampingan di Pulau Dewata. Orang Bali tradisional menyebut saudara Islam mereka sebagai Nyama Selam. Dalam bahasa Bali, nyama berarti saudara dan selam merupakan cara mereka untuk mengucapkan Islam.
Pada lain waktu, Nyepi juga pernah jatuh pada hari Minggu. Umat Kristiani di Bali pun beribadah ke gereja terdekat dengan tertib sehingga suasana Nyepi tetap sipeng atau sunyi. Sementara itu, beberapa jemaat memilih tak keluar rumah dan beribadah dari kediaman masing-masing.
Keragaman dan kerukunan antarumat beragama itulah yang kemudian menginspirasi berdirinya Puja Mandala di kawasan Nusa Dua, Bali. Lima rumah ibadah berdiri bersebelahan di area tersebut. Mulai dari masjid, gereja Katolik, vihara, gereja Kristen, dan pura. Pusat peribadatan yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Joop Ave, itu rampung dibangun pada akhir 1997. Hingga kini, Puja Mandala menjadi model toleransi antarumat beragama.
Kembali soal Nyepi. Bagi penganut Hindu di Bali, Nyepi menjadi momentum untuk kembali ke titik nol. Semacam efisiensi ego untuk memberi kesempatan kepada bhuana agung, alam semesta, bernapas. Saat Nyepi, Pulau Dewata gelap gulita tanpa polusi cahaya, hanya bermandi bintang-bintang jika mendung tak bergelayut di langit malam.
Kapitalisme beserta turunannya juga tunduk saat Nyepi. Bandara I Gusti Ngurah Rai, Pelabuhan Gilimanuk, dan tempat wisata ditutup selama 24 jam. Tak ada klakson bersahutan, ingar bingar musik dari kelab pantai, serta hura-hura turis yang pelesiran. Kicau burung terdengar lebih syahdu meski habitat mereka terus terdesak pembangunan yang masif sejak industri pariwisata menjadi dewa.
Baca juga: Jeda dari Ingar Bingar Politik Melalui Nyepi |
Pada kesunyian itulah umat Hindu di Bali membangun candi spiritualnya. Setelah riuh suara gamelan baleganjur saat pawai ogoh-ogoh pada malam pengerupukan, mereka merayakan tahun baru saka dengan hening di rumah saja. Seperti petuah pinandita, umat Hindu disarankan untuk berkontemplasi saat Nyepi.
Parisada Hindu Dharma Indonesi (PHDI) membuat pedoman lebih rinci agar umat Hindu semakin mantap dan khusyuk saat Nyepi. Pedoman itu, antara lain, mengingatkan kembali tentang empat pantangan atau Catur Brata Penyepian yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian), amati karya (tidak bekerja), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang).
Kerisauan
Di tengah momen Nyepi dan Idul Fitri, sulit rasanya untuk tidak risau. Wajah negara tampak muram. Sederet peristiwa politik hingga tingkah polah para pejabat dan aparat bikin publik geleng-geleng.
Misalkan, revisi Undang-Undang TNI (UU TNI) yang disahkan setelah dibahas kilat di sebuah hotel mewah. Minim partisipasi publik dan regulasi itu juga tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sontak, para mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil dari berbagai daerah kembali turun ke jalan. Mereka mengepalkan tangan dan bersatu menolak revisi aturan yang cacat tersebut.
Revisi UU TNI yang memperluas kewenangan tentara itu memuat beberapa pasal kontroversial seperti Pasal 7 yang mengatur tambahan tugas operasi militer selain perang dan Pasal 47 yang mengatur penambahan posisi jabatan publik yang bisa diisi TNI aktif dari yang sebelumnya 10 kini menjadi 14. Regulasi yang menaungi tentara tersebut patut dikritik karena alarm kemunduran bagi demokrasi Tanah Air serta menggerus supremasi sipil.
Selain itu, sejumlah pejabat publik serampangan dalam menanggapi kritik publik. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat melontarkan kata 'ndasmu' kepada para pengkritiknya, misalnya. Kata 'ndasmu' atau 'kepala kau' terdengar kasar dan merendahkan. Tak pantas makian tersebut dilontarkan oleh presiden.
Buruknya gaya komunikasi publik presiden juga diikuti oleh para pembantunya. Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi merespons teror kepala babi kepada jurnalis Tempo dengan tanggapan yang sama sekali tak lucu.
Alih-alih mendukung kebebasan pers, dia justru menjadikan teror kepala babi dengan telinga terpotong itu sebagai bahan guyonan. Sebuah sikap yang nirempati dan tak pantas ditunjukkan oleh pejabat publik.
Buruknya komunikasi publik anak buah Presiden Prabowo tak berhenti sampai di sana. Kepala Badan Gizin Nasional Dadan Hindayana yang menyebut para pemain tim nasional sepakbola Indonesia kurang gizi terasa menggelikan dan menyedihkan.
Buruknya komunikasi pemerintah tak hanya menunjukkan krisis komunikasi, tapi juga krisis empati. Alih-alih para pejabat itu mendengarkan jeritan masyarakat terkait tingginya PHK, rontoknya IHSG, hingga mahalnya bahan pokok, mereka yang digaji oleh rakyat dan kerap mengusir pengguna jalan dengan pengawalan itu malah asal bunyi dan dangkal.
Barangkali Nyepi dan Idul Fitri menjadi momen yang tepat bagi kita semua, khususnya para pejabat publik, untuk introspeksi dan selalu memperbaiki diri. Rakyat berhak untuk mengkritik pemimpinnya yang keliru. Apalagi, rakyat yang memberikan mandat sekaligus membayar gaji mereka.
(iws/gsp)