Tarian ini biasanya diiringi dengan musik ansambel Gordang Sambilan. Tak hanya itu, penarinya pun dinamakan dengan Sibaso.
Kira-kira bagaimana ya sejarah dari Tari Sarama Datu? Simak penjelasan berikut ini, ya.
Sejarah Tari Sarama Datu
Dikutip dari laman Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, tarian Sarama Datu biasanya dipertunjukkan dalam upacara ritual seperti Paturun Sibaso atau biasa disebut juga dengan Pasusur Begu. Tarian ini diiringi dengan musik ansambel Gordang Sambilan, sedangkan penarinya yang satu orang dinamakan Sibaso yang merupakan tokoh Shaman dalam religi lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu.
Di masa lampau, upacara ritual Paturun Sibaso diadakan ketika terjadi bencana besar di suatu daerah seperti wabah penyakit kolera atau musim kemarau maupun musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas pertanian penduduk. Hal ini mengakibatkan banyak orang kelaparan karena persediaan padi habis. Untuk mengatasi bencana tersebut, mereka meminta pertolongan dari roh leluhur yang dipercayai hanya dapat dihubungi melalui perantara Sibaso menurut keyakinan mereka pada masa itu.
Upacara ritual Paturun Sibaso dahulunya diadakan di alun-alun luas dekat dengan Bagas Godang (Istana raja) yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan Najaji (penduduk setempat), dan seorang tokoh supranatural yang bernama Datu dengan peran utamanya dalam memimpin pelaksanaan upacara ritual. Pada waktu itu, Datu dianggap sebagai gudang ilmu karena ia memiliki banyak kearifan tradisional yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat huta atau banua.
Dalam upacara ritual Paturun Sibaso tersedia makanan khusus berupa parlaslas untuk Sibaso, yakni terdiri dari Garing (Ikan Jurung) yang dibakar, Pege (Lengkuas), dan Ngiro (Air Nira) dalam Tanduk Ni Orbo (Wadah tanduk kerbau).
Setelah musik Gordang Sambilan dimainkan dengan Gondang khusus bernama Mamele Begu, Sibaso menari dan mengalami kesurupan. Dalam keadaan kesurupan, Sibaso meminta makanan dan minuman. Setelah itu, Sibaso kembali menari. Sang Datu kemudian mendekati Sibaso untuk meminta bantuan mengatasi Bala Na Godang (Musibah Besar) yang sedang terjadi dengan cara meminta Sibaso menanyakan penyebab dan solusinya kepada begu.
Setelah mendapatkan jawaban dari Sibaso, sang Datu menyampaikannya kepada penduduk. Akhirnya, Sibaso pingsan dan kemudian sadar seperti semula setelah upacara berakhir.
Apa itu Gordang Sambilan?
Dilansir dari laman resmi Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang berukuran besar dan panjang yang diatur dari yang terbesar hingga yang terkecil. Dulunya instrumen ini digunakan untuk memanggil roh nenek moyang pada masa sebelum Islam serta untuk mengadakan upacara meminta hujan (mangido udan) guna mengatasi kekeringan dan menghentikan hujan yang terus-menerus.
Alat musik ini dilengkapi dengan dua gong besar, yakni ogung boru boru (gong betina) dan ogung jantan (gong jantan), serta gong kecil yang disebut doal dan tiga gong kecil lainnya yang disebut salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan masih dipertahankan oleh masyarakat Mandailing sebagai alat musik sakral dan menjadi bagian yang penting dalam kesenian tradisional yang semakin terkenal di Indonesia dan di seluruh dunia.
Demikianlah informasi tentang sejarah Tari Saramah Datu beserta dengan sedikit pembahasan mengenai Gordang Sambilan. Semoga bermanfaat ya, detikers!
Artikel ini ditulis Siti Alya Zikriena Poetri, peserta magang bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(afb/afb)