Candi Si Djoreng Belangah adalah situs sejarah peradaban Buddha yang kini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Padang Lawas (Palas). Candi ini terletak tak jauh dari pusat kota, yakni di Desa Padang Garugur, Kecamatan Barumun Tengah.
Sejak tahun 2011, candi ini telah teregistrasi sebagai cagar budaya dengan nama candi Tandihat I. Hal itu ditandai dengan terbitnya SK Menteri No PM.88/PW.007/MKP/2011 dan sampai saat ini dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh.
Pada Sabtu (16/3/2024) lalu, tim detikSumut bersama pemerintah dan warga setempat mendatangi candi yang hanya berjarak sekitar 42 km dari Sibuhuan, Ibu Kota Palas tersebut. Terlihat candi yang dikelilingi perkebunan sawit milik warga ini masih berdiri kokoh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat beberapa stupa yang berada di bagian depan, serta samping kiri dan kanan candi. Halaman candi itu pun diselingi rerumputan yang membuatnya tampak asri. Bangunan utama atau induk candi ini berbentuk segi empat dengan ukuran 5,91 x 5,87 meter dan tinggi sekitar 6,1 meter.
Luas areal candi berbahan batu bata ini sekitar 36 mΒ². Tak jauh dari lokasi, ada aliran Sungai Barumum yang menjadi sumber air untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Kepala Desa Padang Garugur, Irhan Habibi Harahap mengatakan rata-rata candi di Palas memang berada dekat aliran sungai.
Asal usul candi ini pun masih misteri. Tak ada penanda yang cukup untuk dijadikan acuan dari mana candi ini berasal. Jejak perkampungan Buddha atau pemakaman kuno tak ditemukan. Namun, masyarakat memperkirakan Sijoreng Belanga merupakan perpaduan bahasa Padang dan Batak yang berarti perkampungan berbentuk belanga.
"Ada nilai sejarah yang mau kita gali. Karena timbul pertanyaan, kenapa tidak ada generasinya di sini dan tidak ada ditemukan pemakaman di sini. Peninggalan peradaban dan ajaran tidak ada, tapi ada candinya," ujarnya.
![]() |
Si Djoreng Belangah dalam Literasi
Dosen di Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah Medan ini menjelaskan nama Si Djoreng Belangah mulanya didapati dari buku yang dituliskan oleh seorang arkeolog berkebangsaan Swiss bernama F.M Schnitger. Buku itu berjudul, "Forgetten Kingdoms In Sumatra" yang terbit tahun 1939.
"Bahwa di situ disebutkan, mereka datang ke sini sekitar tahun 1935. Ini dulu masih banyak rerumputan, ilalang-ilang. Bahkan masih banyak tumbuh pohon beringin. Candi ini dibangun sekitar abad 11," katanya.
Pada tahun 2010, Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara (Sumut) melakukan penelitian untuk menelusuri sejarah sejumlah situs termasuk Candi Si Djoreng Belangah di Palas. Dosen Antropologi Unimed Erond Damanik turut andil dalam riset ini bersama tim peneliti dari Balai Arkeolog Sumut.
Ia menyampaikan pada tahun 1930-an, Belanda melakukan penetrasi dalam rangka memperluas wilayah jajahan ke Palas, Mandailing, dan Tapanuli Tengah. Ketika di Palas, mereka dikejutkan dengan penemuan banyaknya candi.
Schnitger pun diutus sebagai seorang arkeolog untuk melakukan penelitian dan ekskavasi pada tahun 1935. Selama setahun, Schnitger menjelajahi semua candi yang utuh di Palas. Di antaranya, Candi Bahal, Sipamutung, Tandihat, Sangkilon, Pagaranbira, Sijoreng Belanga, serta lainnya. Hasil riset itu lah yang dituangkan dalam buku "Forgetten Kingdoms In Sumatra".
"Tapi tak ada satu pun penanda yang menyebut candi Hindu-Buddha itu peninggalan kerajaan atau komunitas. Baik pertulisan di candi, stupa, prasasti, mau pun patung yang ditemukan," ungkap Erond.
Hanya saja, perlu diketahui candi-candi tersebut berasal dari era Hindu-Buddha muncul sebelum abad 12. Terkhusus di Candi Si Djoreng Belanga, dapat ditandai dengan ditemukannya sebuah prasasti batu berangka tahun 1101 Saka atau sama dengan tahun 1179 Masehi oleh seorang epigraf (ahli membaca tulisan kuno) bernama Louis Charles Damais.
Ada pun dalam rentang waktu abad 11-14 ada kerajaan Buddha yang berdiri di pesisir timur Sumatera Utara, yakni Kerajaan Panai. Erond tak menampik, dari cerita rakyat yang ada menyebutkan bahwa candi ini memiliki keterkaitan dengan kerajaan Buddha berlairan Tantrayana tersebut.
"Cerita rakyat di sekitar sana menyebut (candi itu punya keterkaitan dengan) Kerajaan Panai. Namun tak ada satu pun yang memperkuat cerita itu. terutama dokumen tertulis di candi, prasasti, atau arca yang ada," jelasnya.
Menurutnya, candi ini sangat perlu dilestarikan. Sebab, dapat menjadi pusat pembelajaran era Hindu Buddha di Sumut. Pada tahun 2018, pemerintah melakukan pemugaran terhadap candi ini karena 70 persen bangunannya masih utuh.
"Candi ini dapat dijadikan pusat pembelajaran sekaligus destinasi wisata. Kawasan bersejarah Palas pun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2012 dengan peringkat nasional yang menuntut pengelolaan skala nasional," tutupnya.
(astj/astj)