Namanya adalah Pustaha Laklak. Saat ini, kitab tersebut sudah jarang ditemui, hanya ada di beberapa museum, seperti Museum Negeri Provinsi Sumut, Museum Nasional Jakarta serta di museum-museum luar negeri, seperti di Belanda dan Jerman.
Dikutip dari situs Kemendikbud, kata pustaha sendiri adalah adaptasi dari kata pustaka, sedangkan laklak merupakan kulit kayu. Singkatnya, pustaha laklak adalah tulisan yang ditulis di kulit kayu.
Pustaha laklak ini berisi ilmu-ilmu hitam dan tradisi masa lalu yang bersifat rahasia, serta umumnya berisi tentang ritual, simbol, mitos, pengobatan (haubatan), pertanggalan hari baik dan hari tidak baik (parhalaan), porsili, dan dibuat oleh seorang dukun (datu).
Proses pembuatan pustaha laklak dimulai dari pencarian bahan baku laklak. Bahan dasar pustaha ini, yaitu kulit kayu alim (gaharu). Pohon ini banyak hidup di hutan hujan tropis baik itu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, maupun di India Utara.
Di Sumut, pohon kayu alim dapat dijumpai di daerah Barus Hulu, di sekitar Pardomuan, Kabupaten Dairi dan juga daerah Pulau Raja, Kecamatan Bandar Pulau, serta Kabupaten Asahan.
Kemudian, kulit kayu itu dikupas dari pohonnya. Setelah itu, permukaan kulit kayu yang masih kasar itu dihaluskan menggunakan pisau. Usai dihaluskan, maka kulit kayu itu diketam menggunakan parang dan lalu digosok dengan jenis daun yang kasar. Tujuannya, agar permukaan kulit kayu menjadi lebih halus.
Laklak yang sudah bersih dan halus itu dilipat menyerupai alat musik akordeon sembari dipukul dengan palu kayu. Selain itu, di bagian sisi-sisinya juga dipotong dengan pisau agar menjadi lebih lurus dan rapi. Laklak yang sudah kering pun siap untuk ditulisi.
Kemudian, laklak itu akan ditulis menggunakan kalam, pena berbahan lidi pohon enau (Arenga pinnata). Lalu, tinta menulisnya diberi nama mangsi yang terbuat dari campuran jelaga, air kulit jeruk, dan air tebu merah.
Tinta ini juga dibuat dari cairan lelehan hasil bakaran ranting pohon jeruk. Mangsi ini menghasilkan warna hitam, merah, dan kadang-kadang berwarna coklat.
Bagian pustaha laklak ini juga terdiri dari sampul. Bagian sampul depan biasanya diberi gambar cicak atau boraspati yang menjadi salah saru simbol orang batak.
Kata-kata yang tercantum dalam kitab itu, misalnya parau atau perahu. Pada pustaha itu, parau tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga digambarkan dengan empat orang penumpang yang ikut berlayar.
Teks terkait parau ini mengungkapkan tentang panghulubalang yang digunakan untuk melawan musuh serta beberapa mantra dan harus dilengkapi sebagai persyaratan yang diinginkan datu atau dukun.
Lalu, ada kata ihan atau ikan. Ikan merupakan salah satu syarat yang harus disiapkan saat upacara selain mantra, rempah-rempah, dan ayam. Bahan-bahan digunakan sebagai sarana oleh dukun untuk menyakiti musuh, atau bahkan untuk membuat musuh mati.
Ikan yang dibutuhkan bukan ikan yang hidup, melainkan ikan mati di laut. Hal itu merupakan salah satu syarat yang tidak dapat ditinggalkan.
Kemudian, ada kata Boru Saniang Naga. Dalam pustaha laklak itu dijelaskan bahwa Boru Saniang Naga adalah seorang nenek yang dianggap memiliki kemampuan untuk menenangkan air di danau atau menenangkan putaran air. Ibaratnya, Boru Saniang Naga adalah dewi air. Dia dipercaya oleh para nelayan sebagai penguasa yang berperan dalam mendapatkan ikan sebagai hasil tangkapan yang diharapkan.
Itulah informasi terkait pustaha laklak batak. Semoga detikers dapat memahaminya.
(dhm/dhm)