Wukuf di Arafah merupakan puncak ibadah haji di tanah suci. Dilaksanakan pada 9 Zulhijah sebagai rukun haji, wukuf tidak boleh ditinggalkan sebab akan membuat haji menjadi tidak sah.
Seluruh Muslim yang berwukuf di Padang Arafah memakai satu warna dan satu jenis pakaian, yakni kain ihram berwarna putih. Pada momentum itu Jemaah haji berdiam diri dengan memperbanyak doa dan zikir.
Lantas, bagaimana sejarah dan makna wukuf di Padang Arafah? Untuk mengetahui penjelasannya, simak informasi di bawah ini ya.
Sejarah dan Makna Wukuf di Arafah
Dilansir detikHikmah, berdasarkan buku Sejarah Ibadah Menelusuri Asal-usul, Memantapkan Penghambaan yang ditulis oleh Syahruddin El Fikri, saat mengerjakan ibadah haji, Rasulullah SAW dihampiri seseorang dari suku Nejd yang bertanya.
"Wahai Rasulullah, apa itu ibadah haji?"
Rasulullah menjawab "Inti dari ibadah haji adalah wukuf (berdiam diri) di Arafah. Barangsiapa yang tiba sebelum salat pada malam yang menginap di Muzdalifah, maka hajinya telah sempurna." (HR Ahmad, al-Bayhaqi, dan al-Hakim)
dalam buku Haji dan Umrah karya M Quraish Shihab, nama Arafah diambil dari kata yang berarti 'mengenal' atau 'mengakui'. Karena saat di lokasi ini setiap manusia harus mengenal jati dirinya dan menyadari setiap dosa yang telah ia perbuat.
Dalam karyanya, al-Hajj, Ali Syariati menggambarkan bahwa wukuf di Padang Arafah bermakna sebagai upaya untuk merenungkan esensi penciptaan alam semesta, menilai tindakan yang pernah dilakukan, dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penghisaban.
Dia juga menekankan bahwa Arafah melambangkan pengenalan, pemahaman, atau kesadaran. Dari konsep ini, Arafah mencerminkan gambaran dari Padang Mahsyar di akhirat, sebagai tempat di mana semua tindakan manusia akan dihitung. Oleh karena itu, di tempat ini, para jemaah haji disarankan untuk banyak berdoa, meminta maaf, dan melakukan introspeksi atas semua tindakan mereka.
Selanjutnya, pada masa Rasulullah SAW, Padang Arafah dijadikan sebagai salah satu rukun dalam ibadah haji. Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, para jemaah berkumpul di Padang Arafah dan tinggal di sana dari matahari terbenam pada hari itu hingga fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Makna Dibalik Penamaan Hari Arafah
Terdapat banyak pandangan ulama terkait alasan dibalik penamaan hari Arafah. Dilansir dari laman NU Online Jabar salah satunya Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib menjelaskan beberapa pandangan mengenai penamaan tersebut, berikut tiga uraiannya:
1. Pertemuan Nabi Adam dan Sayyidah Hawa
Hari itu menjadi momen pertemuan antara suami istri yang sudah bersama dalam surga kemudian diusir ke dunia. Akhirnya pada hari itu dipertemukan kembali pasangan suami istri tersebut (Nabi Adam dan Sayyidah Hawa) oleh Allah di Arafah, Makkah. Pertemuan ini membuat keduanya menjadi tahu (Arafah) antara satu dengan lainnya.
2. Nabi Adam mengetahui cara haji
Di hari yang sama Malaikat Jibril, mengajarkan tata cara melakukan ibadah haji kepada Nabi Adam as. Ketika sampai di tanah Arafah, Jibril memberikan pertanyaan kepadanya, "Apakah engkau sudah tahu?" kemudian Nabi Adam as menjawab, "Iya, tahu." Maka hari itu dikenal dengan hari Arafah (tahu).
3. Orang haji diberitahu dapat ampunan dan rahmat
Di hari itu Allah memberitahukan (yata'arrafu) dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dengan ampunan (maghfirah) dan rahmat.
Ada juga yang berpendapat kata Arafah diambil dari kata i'tiraf (pengetahuan). Hal ini mengingat pada hari Arafah, umat Islam mengetahui dan membenarkan al-Haqq (Allah) sebagai satu-satunya Zat yang harus disembah, Allah merupakan Zat Yang Agung.
Demikian pembahasan terkait sejarah serta makna wukuf di Arafah. Semoga dapat bermanfaat bagi detikers ya!
Artikel ini ditulis Indah Mawarni, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nkm/nkm)