Kala Fahry Bantu Sekolah Anak Kurang Mampu di Aceh Lewat Beasiswa Sampah

Aceh

Kala Fahry Bantu Sekolah Anak Kurang Mampu di Aceh Lewat Beasiswa Sampah

Agus Setyadi - detikSumut
Minggu, 05 Nov 2023 20:00 WIB
Fahry Purnama. (Foto: Istimewa).
Fahry Purnama. (Foto: Istimewa).
Banda Aceh -

Suatu ketika di tahun 2013, Fahry Purnama bersama sejumlah temannya menggelar bakti sosial di pelosok Aceh. Begitu masuk desa yang dituju, pemandangan tak biasa ditemuinya. Fahry mematung kala melihat seorang anak laki-laki mengenakan pakaian perempuan sedang bermain.

Fahry yang masih tercatat sebagai mahasiswa Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala mendekat ke sang anak. Dia mengajak bocah itu berbicara untuk mengetahui alasan mengenakan pakaian lawan jenis.

"Dia bilang itu baju kakaknya dan orang tuanya tidak punya uang untuk beli baju. Mereka turun temurun seperti itu," kata Fahry kepada wartawan Oktober lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengakuan bocah itu membuat Fahry kaget. Sepulang dari kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) itu, Fahry berniat membantu anak-anak miskin yang ada di Tanah Rencong. Keinginannya semakin memuncak kala mengetahui peringkat pendidikan Aceh pada 2016 berada di posisi nomor 32 dari 34 provinsi di Indonesia.

Dua tahun berselang, muncul ide Fahry untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang beruntung. Dia mengumpulkan sampah kertas yang ada di kampusnya untuk dijual. Hasil diperoleh dari sampah itu donasikan untuk kebutuhan anak-anak kurang mampu. Sejak saat itu, Fahry mulai aktif berkampanye menerima sampah kertas hingga akhirnya terbentuk komunitas pesawat kertas.

ADVERTISEMENT

Lewat komunitas itu, Fahry semakin giat blusukan ke daerah untuk menemui anak kurang mampu. Bila mendapatkan calon penerima beasiswa dia akan membawa anak itu untuk membeli berbagai kebutuhan.

"Kita langsung beli kebutuhan dia misalnya pakaian, sepatu dan sebagainya. Kita tidak kasih dana," jelas Fahry.

Pemandangan miris kembali dilihatnya kala membuat bakti sosial di Pulo Aceh, sebuah kecamatan yang terletak di pulau terluar di Aceh Besar. Beberapa siswa Sekolah Dasar (SD) di sana bersekolah tanpa mengenakan alas kaki.

Bagi warga di sana, itu pemandangan biasa tapi tidak bagi Fahry dan teman-temannya. Bila pun mereka mengenakan sepatu tapi bukan yang diperuntukkan untuk sekolah.

"Ada anak itu ada yang pakai sepatu bola ke sekolah. Orang tuanya beralasan tidak punya uang dan membeli sepatu bola supaya bisa dipakai untuk sekolah dan main bola. Itu kita lihat tahun 2019 di Pulo Aceh," jelasnya.

Setelah adanya program beasiswa sampah, pria kelahiran Banda Aceh 16 Maret 1995 itu juga mendatangi sekolah-sekolah dasar untuk mencari anak yang layak dibantu. Fahry memiliki kriteria khusus bagi anak yang akan mendapatkan beasiswa salah satunya berprestasi.

"Kita bantu anak kelas 4, 5 dan 6 dan biasanya yang kita berikan beasiswa itu anak rangking 1 hingga 3," jelasnya.

Beasiswa itu tersalurkan kepada 135 penerima di Banda Aceh, Aceh Besar dan Gayo Lues. Program itu sempat terhenti saat COVID-19 melanda sejak 2020 lalu. Setelah beberapa tahun vakum, Fahry mencoba memulai lagi program itu.

Baca selengkapnya di halaman berikut...

Lewat program tersebut, Fahry menoreh beragam prestasi. Pada 2019 lalu, Fahry terpilih mengikuti program Sustainable Development Goals-Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan (SDG-PIPE) yang berlangsung di Spanyol. Dia juga dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor Kemenpora 2019 dan Pemuda Hebat Kemenpora 2019.

Fahry juga pernah dinobatkan sebagai Pemuda Berprestasi Provinsi Aceh 2018 serta Pemuda Inspiratif Kemenpora 2018. Fahry bangga dengan prestasi yang ditorehkannya namun tidak bagi keluarga.

Pihak keluarga awalnya tidak setuju Fahry masih fokus di komunitas setelah selesai kuliah pada 2018. Keluarga mendesaknya segera mencarikan kerja layaknya lulusan sarjana lainnya.

"Yang saya sedihkan ketika semua orang bahagia terhadap apa yang saya lakukan, ketika bawa pulang piala dari kantor gubernur ke rumah, orang tua bilang kami tidak butuh ini tapi kami butuh Fahry bekerja. Mungkin di luar (diapresiasi) tapi di keluarga kita ada sedikit terjadi penolakan. Tapi seiring waktu saya bisa buktikan apa yang saya lakukan bukan untuk membuang-buang waktu," ujar mahasiswa magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Syiah Kuala itu.

Fahry menjelaskan, ada sejumlah alasan melahirkan komunitas pesawat kertas diantaranya kemiskinan Aceh yang tertinggi di Sumatera, penumpukan sampah kertas hingga kualitas pendidikan di Aceh yang rendah. Di komunitas itu, mereka punya tiga program yakni beasiswa sampah, gerakan sedekah sampah, rumah kertas.

Selama program berlangsung, komunitas pesawat kertas telah mengumpulkan 5 ton sampah kertas serta melatih 250 orang terkait pembuatan produk kreatif. Selain itu, mereka juga memberdayakan anak-anak di panti asuhan agar memiliki keterampilan.

"Tujuan kita di komunitas ini memberdayakan anak-anak kurang mampu di Aceh untuk mengolah sampah kertas menjadi produk yang bernilai jual dan hasil keuntungannya akan digunakan kebutuhan biaya pendidikan (beasiswa sampah)," jelas Fahry.

Fahry berkisah, dirinya pernah bertemu kembali dengan anak yang pernah mereka bantu. Sang anak mengaku sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan selalu menjadi juara di kelasnya.

"Anak yang kami temui itu selalu juara 1. Itu hal-hal kecil yang dapat membahagiakan kami," jelasnya.

Kisah Fahry menginspirasi banyak kalangan. Pada 2021 lalu, dia mendapatkan penghargaan Satu Indonesia Award yang digelar Astra untuk bidang pendidikan dengan nama program beasiswa sampah.

Fahry juga dapat membuktikan ke orang tuanya dirinya akan sukses. Berkat program yang dibuatnya, Fahry dipercaya menangani beberapa program pendampingan masyarakat.

"Alhamdulillah sampai hari ini dipercaya sebagai Community Development Officer (CDO) di PT Pupuk Iskandar Muda. Ini hanya buah dari sekian tahun saya mengabdi. Saya percaya bahwa hal baik akan menghasilkan hal-hal baik juga," lanjut Fahry.

Fahry melihat saat ini tingkat pendidikan di Aceh sudah lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. Dia ingin terus menginspirasi generasi muda lewat komunitas pesawat kertas yang dibikinnya.

"Dengan sampah kertas kami bisa menerbangkan mimpi-mimpi anak-anak kurang mampu," tutup Fahry.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Believe: Kisah Nyata Pengabdian Prajurit di Medan Perang"
[Gambas:Video 20detik]
(agse/dhm)


Hide Ads