Ridwan Hutagalung begitu bersemangat menceritakan saat dirinya bekerja di NV Deli Klei, perusahaan pertama pembuatan batu bata dan genteng di Kota Medan. Perusahaan ini merupakan milik keluarga Belanda yang sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka.
Pria berusia 80 tahun itu tinggal tak jauh dari cerobong atau saluran pembuangan asap pabrik batu bata NV Deli Klei. Cerobong itu sampai saat ini masih berdiri kokoh meski pabrik batu bata itu sudah lama tidak beroperasi. Cerobong ini menjadi satu-satunya peninggalan pabrik batu bata NV Deli Klei yang masih tersisa.
Cerobong ini menjulang dengan perkiraan tinggi puluhan meter, sehingga menara itu gampang terlihat meski detikers berada jauh dari lokasi. Lokasi cerobong itu tepatnya berada di tengah permukiman warga di Jalan Menteng II, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai.
Namun, untuk bisa sampai ke cerobong itu, detikers harus bertanya kepada warga sekitar. Sebab, lokasinya berada di lahan sempit di tengah-tengah permukiman warga. Jalan-jalan yang dilewati untuk bisa sampai ke lokasi juga tidak begitu bagus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga sekitar menyebut cerobong itu Barbar atau Bakaran Batu, sesuai dengan fungsinya pada zaman dulu untuk membakar batu bata. Cerobong ini berbentuk seperti menara dengan material batu bata.
Namun, sayangnya kondisinya tidak terawat. Terlihat, cerobong ini dikeliling oleh semak-semak serta sejumlah pohon. Bahkan rerumputan itu hampir menutupi bagian bawah cerobong. Tampak di bagian bawahnya juga banyak coretan-coretan. Tak hanya itu, ada juga spanduk salah satu calon legislatif yang terpasang di dinding cerobong.
Sekitat lima meter cerobong itu diperkirakan sudah tertimbun ke dalam tanah, sehingga akses pintu masuk ke dalam cerobong itu juga sudah tidak kelihatan. Mirisnya lagi, cerobong itu sudah dalam kondisi retak yang cukup parah. Ada hampir setengah cerobong yang telah retak. Dikhawatirkan, cerobong itu akan terjatuh dan menimpa rumah warga yang berada di lokasi.
![]() |
Ridwan Hutagalung mengenang dirinya bekerja di pabrik batu bata itu selama 10 tahun sejak tahun 1968. Namun, saat itu yang menjalankan perusahaan itu bukan lagi keluarga Belanda pemilik NV Deli Klei. Sebab, pasca kemerdekaan, warga Belanda yang berada di Indonesia dipulangkan ke negara mereka, termasuk keluarga pemilik NV Deli Klei. Namun, dia mengaku pabrik itu menjadi satu-satunya perusahaan batu bata dan genteng saat itu. Sejumlah bangunan di Kota Medan, kata Ridwan, dibangun dengan batu bata NV Deli Klei.
"Yang punya keluarga Belanda. Saya juga tidak tahu pasti kapan berdirinya, tapi itu satu-satunya (pabrik batu bata) saat itu," kata Ridwan saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Galung, sapaan akrab warga sekitar, menceritakan ada kisah kelam dibalik kepulangan keluarga Belanda itu. Dia menyebut ada salah seorang anggota keluarga Belanda itu yang memilih untuk tidak berangkat bersama dengan alasan akan menyusul pulang ke Belanda. Namun, ternyata orang Belanda tersebut memilih mengakhiri hidupnya di dekat pabrik itu. Sepengetahuan Ridwan, aksi itu dipicu karena ketidakrelaannya meninggalkan perusahaan mereka itu.
"Kita kan sudah merdeka, orang-orang sudah diusir. Keluarganya berangkat ke Belanda, aku menyusul katanya. Jadi, meninggalkan perusahaannya ini enggak sampai hati dia, enggak rela dia. Jadi, dia milih bunuh diri. Itu di rumah itu, yang tingkat dua itu, di situ dia bunuh diri," ujar Ridwan sembari menunjuk rumah yang dimaksudnya.
Ridwan menyebut setelah pabrik itu ditinggal pemiliknya, dia diajak oleh temannya mengambil alih pabrik itu. Namun, dia mengaku perusahaan itu tidak berjalan mulus setelah ditinggal pemiliknya.
Mereka mengalami kendala bahan baku. Sebab, tanah yang biasanya digunakan untuk proses pembuatan batu bata itu sudah mulai habis. Biasanya tanah itu diambil dari lokasi sekitaran pabrik karena tekstur tanahnya cukup bagus dan berwarna merah.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Namun, lambat laun, tanah di sekitaran pabrik itu mulai habis. Galung mengaku mereka sempat mencari tanah di tempat lain untuk bahan baku batu bata, tetapi tidak ada yang sebagus tanah di dekat pabrik tersebut.
"Dari tahun 1968 itu, kami bangun, itu kan lantaran bahan baku yang enggak ada, kan gitu. Kami coba, kami beli hari itu dari Patumbak, enggak bisa, tanah itu minyaknya enggak sesuai, enggak sebagus yang di sini. Maka itu lah sekarang ini, enggak bisa dibangun. Bahan-bahan bakunya enggak dapat lagi, kalau ada pun tanah, sudah mahal enggak sesuai lagi," ujarnya.
Selain itu, Ridwan mengaku tutupnya pabrik itu juga di disebabkan karena manajerial yang kurang bagus. Meski sudah beberapa kali berganti manajer, pabrik itu juga tetap tidak bisa dipertahankan.
Ridwan memerkirakan pabrik itu tutup pada tahun 1980. Setelah itu, lokasi pabrik itu katanya mulai dibongkar oleh warga dan dijadikan pemukiman.
Bahkan, pada tahun 1985, Ridwan menyebut di lokasi cerobong itu sempat menjadi tempat pembuangan sampah dalam ukuran banyak.
"Di sekitar tahun 85, terjadi pembuangan sampah kemari, truk semua. Pasca ditutup, barulah jadi tempat pembuangan sampah. Mulai banyaklah warga buat rumah di situ," kata Ridwan.
Sejarawan Muda Kota Medan M Aziz Rizky Lubis mengatakan di lokasi cerobong asap itu memang dulunya ada pabrik pembuatan batu bata dan genteng bernama NV Deli Klei. Pabrik itu merupakan perusahaan milik Belanda.
Aziz sendiri belum mengetahui pasti tahun berdiri pabrik batu bata itu. Namun, dari catatan sejarah, pabrik itu diperkirakan berdiri pada tahun 1870-an, di tengah pesatnya perkembangan perkebunan tembakau deli.
![]() |
Baca juga: Nostalgia Gulungan Kenangan Lewat Kaset Pita |
Pesatnya pertumbuhan perkebunannya tembakau di wilayah Kota Medan saat itu membuat pembangunan juga semakin banyak. Material batu bata dan genteng dari NV Deli Klei itulah yang digunakan untuk pembangunan.
"Itu di 1880 awal itu sudah ada, tapi kalau dugaannya pastinya bisa jadi 1870-an karena di situ puncak-puncaknya tembakau. Jadi, pembangunan Kota Medan juga dilakukan, makanya NV Deli Klei ini itu dia menyuplai batu bata dan juga genteng pada bangunan-bangunan yang ada di kota Medan, kayak misalnya perumahan-perumahan, gedung-gedung, itu mereka yang menyuplai batu bata dan juga gentengnya," kata Aziz.
Dia memerkirakan NV Deli Klei itu menjadi pabrik batu bata pertama di Kota Medan. Sebab, mayoritas bangunan di sekitaran Kota Medan menggunakan produk NV Deli Klei.
"Karena hampir seluruh bangunan yang ada di wilayah Kota Medan ataupun rumah itu kan pakai punya mereka. Makanya bisa dikatakan mereka perusahaan batu bata pertama," ujarnya.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) itu mengatakan dulunya kawasan pabrik itu cukup luas. Tidaknya hanya pabrik pembuatan batu bata saja, tapi juga kawasan perkantoran dan lokasi pengambilan tanah juga berada di situ.
Mayoritas pekerja di pabrik itu adalah warga dari luar Sumut. Sebab, saat itu warga Kota Medan dan sekitarnya sangat jarang mau berkerja di perusahaan asing. Saat itu, warga masih memilih untuk mengurus lahan mereka.
"Kalau pekerja yang pasti dari luar, karena kita ketahui bahwa untuk masyarakat sekitar sendiri itu sangat jarang kita temukan untuk bekerja di perusahaan milik asing karena kan mereka juga mengurusi lahan mereka. Jadi, lebih banyak dari luar para pekerjanya," ujarnya.
Menurutnya, lokasi pabrik itu dulunya merupakan jenis tanah merah yang cocok untuk bahan baku batu bata. Hal itulah yang menyebabkan sekitaran lokasi itu saat itu disebut sebagai Pasar Merah.
"Kenapa dia berada di situ karena tanah di situ yang lebih cocok, dia tanahnya tanah merah, makanya dari sekitar yang sekarang kita sebut wilayah Pasar Merah itu memang jenis tanah merah," ujarnya.
Pria berdarah Mandailing itu memerkirakan perusahaan itu masih dikelola oleh pihak Belanda sejak kemerdekaan Indonesia. Namun, muncul nasionalisasi perusahaan asing yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca kemerdekaan sekitar tahun 1950 sampai sekitar 1960-an.
Alhasil, orang Belanda yang memiliki perusahaan itu meninggalkan Indonesia dan pabrik itu diambil alih oleh pekerjanya.
"Untuk perusahaan asingnya sendiri itu bisa dipastikan pasca kemerdekaan juga masih ada, tapi kemudian karena situasi dan kondisi mendesak kemudian orang Belandanya sendiri juga pergi. Yang mengambil alih itu pekerja-pekerjanya, itu biasa, karena di tahun tahun 50-an 60-an itu kan pemerintah juga mengeluarkan aturan nasionalisasi perusahaan asing, kemudian diambil alih oleh para pekerja lalu dijalankan," sebut Aziz.
Namun, kata Aziz, operasional pabrik tersebut tidak berjalan dengan baik setelah diambil alih. Menurutnya, salah satu faktor penyebabnya karena kurangnya keahlian manajerial para pekerja yang mengelola itu. Alhasil, perusahaan tersebut gulung tikar.
"Beberapa perusahaan asing banyak yang begitu, ketika dijalankan oleh masyarakat, kemudian menurun, lama kelamaan tutup, karena dari awal memang untuk manajerial kan Belanda enggak pernah ngasih kita menangani di bagian itu. Jadi, untuk manajerial saya kira itu menjadi persoalan, sehingga kemudian perusahaan itu tutup," sebutnya.
"Kalau untuk pengambil alihan kayaknya di tahun 50-an. Kemudian dijalankan dan boleh jadi di tahun-tahun 70-an itu sudah enggak beroperasi lagi, karena namanya juga enggak dikenal dan juga sudah memudar, tetapi cerita itu secara turun-temurun tetap diberikan karena sampai sekarang juga bangunannya masih ada," sambung Aziz.
Sementara untuk cerobong asap yang saat ini masih berdiri, Aziz memerkirakan tingginya sekitar 26 meter. Dulunya cerobong itu digunakan untuk pembuangan asap pembakaran batu bata.
"Cerobong lebih kurang 26 meter, itu kan cerobong pembakaran, karena kalau enggak dicerobongin dengan cukup tinggi, asap pembakarannya itu, dia bisa nanti mengepul dan lambat untuk memuai permukaan," ujarnya.
Aziz sendiri belum mengetahui pasti apakah cerobong itu sudah masuk dalam cagar budaya. Namun, menurutnya, cerobong itu sudah termasuk dalam kategori cagar budaya. Dia juga berharap pemerintah setempat bisa segera mengambil langkah terkait retakan pada cerobong yang dikhawatirkan bisa menimpa rumah warga.
"Kalau misalnya itu belum dijadikan sebagai cagar budaya, itu harusnya dimasukkan. Tapi kalau memang sudah menjadi bangunan cagar budaya maka sebaiknya dengan cepat dilakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan aturan UU. Misalnya bangunan yang dianggap sudah cukup membahayakan juga terutama mengancam nyawa orang lain itu lebih baik secepatnya diperbaiki, dibaguskan, supaya dia tidak hanya sekadar menjadi bangunan tua, karena kan konsep dari cagar budaya itu dia tidak hanya sekadar melestarikan tapi juga memanfaatkan," pungkasnya.