Lantunan merdu suara Michael Jackson terdengar di ruangan Indra Rio Panjaitan, kolektor kaset pita di Medan. Musik itu diputar menggunakan radio tape jadul keluaran tahun 80'an.
Sesekali, Indra tampak menyetel manual tape tersebut untuk mendapatkan suara yang nyaman di telinga. Hasil suara tape ini punya ciri khas dibanding saat mendengar melalui CD ataupun digital streaming modern.
Indra bercerita bahwa setiap mendengarkan musik dari kaset pita, memori lama langsung keluar secara otomatis. Ia bercerita, ada lagu yang selalu ia dengarkan bersama keluarganya setiap pagi menggunakan radio tape.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami pasti setiap pagi dengar lagu Rohani. Apalagi tiap tengah lima untuk menemani mamak menyapu, pasti lagu punya Nikita, itu penyanyi lagu rohani yang tiap pagi diputar mamak," cerita Indra kepada detikSumut, kemarin.
Musik tape dari kaset pita, bagi Indra, punya tempat spesial saat ia dengarkan. Saat mendengar kaset pita, ia mendapatkan banyak pengetahuan, seperti sejarah dari musik tersebut.
"Enaknya di kaset tape, misalnya ada album terkenal dulu seperti Jamrud, padahal untuk lagu Selamat Ulang Tahun yang viral itu di Side A, paling terakhir. Jadi dari awal kita dengar semua untuk bisa mendapatkan itu. Bisa diputar cepat, tapi kita kan sayang sama karetnya itu. Makanya orang dulu, kalau kita bilang lagu Selamat Ulang Tahun nih, tapi dia tahu semua isi album itu," kata Indra.
"Handphone kan belum canggih dulu, jadi sambil dengar, lihat booklet covernya dan baca-bacalah. Mau tak mau, pengetahuan pasti ada masuk, itu aku sukanya," lanjutnya.
![]() |
Pria kelahiran 1987 ini bercerita bahwa dirinya sudah mulai menggemari musik pita sejak duduk di bangku SMP. Ia pun mengenang masa dirinya harus rela berhemat untuk menabung agar dapat membeli kaset pita yang ia idamkan.
"Kalau uang jajannya Rp 3.500, kita nabung dulu dua bulan baru bisa terbeli kasetnya. Nah, kalau mau tahu info musik luar kita tahunya itu kalau tidak V Channel atau MTV. Aku suka Cher, Guns n Roses, Metalica, Megadeth, Nirvana, rata-rata rock lah. Zaman itu kita beli untuk kebutuhan karena dulu kita tidak bisa sesuka kita dengar lagu kalau tidak punya. Radio kan lihat jam, baru MTV ampuh kan kita lihat dulu playlistnya. Makanya kita beli biar kapanpun bisa kita dengar," ujarnya.
Kaset pita dulu punya era emas yang menjadikannya sebagai momen ajang pamer di tongkrongan. Terlebih, kaset pita tersebut merupakan album keluaran terbaru ataupun susah didapat.
"Nah, dulu itu punya kaset pita terbaru jadi ajang pamer, itu zaman SMP dan SMA. Kalau aku dulu pasti album terbaru dari satu band, misalnya Zamrud, Ningrat. Terus album konser juga dulu susah, misalnya dari Nirvana yang New York Unplagged, konser terakhir mereka. Itu udah mahal susah pula dapatnya karena kan kita tinggal di Tarutung. Ya terpaksalah beli itu nitip sama yang bapaknya kaya terus main ke Medan atau ikut anaknya yang liburan ke Medan," kata Indra.
"Kalau remaja sekarang kan beda, kalau dulu kita cuma Jumat, Sabtu, Minggu saja yang bisa keluar. Jadi pas momen itu kita sering bawa kaset terus dengar di rumah kawan. Dari 10 pria, pasti ada satu orang yang bawa kaset, nanti diputarkan di kedai. Terus kalau ada kawan kita yang baru beli kaset baru, kita pasti baik kali sama dia, terus bilang kapan kita ke rumahmu?," lanjutnya.
Tumbuh besar mendengarkan musik kaset pita, Indra pun mulai serius mengoleksi ini sejak tahun 2010. Hingga saat ini, ia punya koleksi sekitar 1.700-an kaset pita original yang ia dapatkan rata-rata dari luar Kota Medan, seperti Jawa dan Bali. Ia menyebutkan harga di luar Medan jauh lebih terjangkau dengan perbedaan harga hingga ratusan ribu Rupiah.
Indra kemudian mengajak tim detikSumut untuk melihat koleksinya yang terpajang di rak besi miliknya. Beberapa koleksi diantaranya seperti Pink Floyd, The Beatles, Caesar, UFO, Nirvana, Metalica, dan musisi maupun band Indonesia lainnya.
Indra bercerita beberapa koleksi miliknya yang langka sempat ditawar oleh orang lain. Namun, karena barang tersebut sudah didapat, ia pun memilih untuk tidak menjualnya.
"Siapa yang tahu band Camel, Skadele, aku punya satu. Ada beberapa yang menawar tapi nggak aku kasih, karena langkanya ini lebih parah dari Pink Floyd karena peredarannya. Camel aku punya ditawar Rp 1,7 juta," tutur Indra.
Bertahan Demi Penikmatnya. Baca Halaman Berikutnya...
"Sekarang tergantung langka atau album. Bahkan album Berlayar milik Sheila on 7 itu bisa mencapai Rp 3 jutaan untuk harga sekarang. Album ini paling langka dan laris, kalau masih ada segel plastiknya itu mau Rp 3,5 jutaan. Terus Guruh Gipsy itu pita kasetnya plus ikut buku-bukunya itu bisa berkisar Rp 10 jutaan. Rata-rata kolektor besar yang punya ini seperti Ahmad Dhani," kata Indra.
Selain punya banyak kaset pita, Indra juga memiliki beberapa koleksi pemutar kaset tape. Ia menyebutkan setiap pemutar memiliki suara yang beragam.
"Aku lengkapi karena misalnya aku dengarkan The Beatles, aku keluarkan boombox yang keluar pada tahun itu juga, baru suasananya dapat. Terus lagu Love of My Life punya Queen di Album kedua, di Spotify itu kita langsung dengar suara piano, tapi beberapa menit sebelumnya Brian May itu masih ada solo tapi kita tidak dapat di rilisan sekarang, kita cuma bisa dengar di musik tape," kata Indra.
"Ini hal kecil tapi bagiku penting. Misalnya di album The Beatles itu banyak bocornya, suara teriakan John Lenon ataupun suara batuknya. Sekarang itu bisa dihilangkan, kalau kaset tape tidak bisa karena biaya produksinya yang mahal. Ini momen memorabilia, kita bisa pegang sejarah dari sini," ucapnya.
Bertahan Demi Penikmatnya
![]() |
Era kejayaan musik pita dapat terlihat dari banyaknya toko kaset fisik yang menjamur. Contohnya saja ada E.T 45 maupun di toko elektronik. Namun, saat ini hanya E.T 45 yang masih bertahan di tengah gempuran penjualan digital streaming.
Tim detikSumut kemudian mengunjungi ET 45 di Jalan Mangkubumi dan di Sun Plaza Medan. Ada begitu banyak koleksi mulai dari piringan hitam, kaset CD, maupun kaset pita.
Koleksi kaset pita diletakkan di rak dengan memajang penyanyi solo maupun band tempo dulu. Contohnya ada Culture Club, 24 Carat Purple dari Deep Purple, Tony Benneth, ABBA, Dewa 19, Nirvana, dan lainnya. Harga yang ditawarkan juga beragam mulai seratusan ribu hingga jutaan Rupiah.
Pemilik E.T 45 Hansen Teo menyebutkan bahwa rata-rata kaset pita yang ia jual merupakan barang impor. Ia menyebutkan bahwa produk kaset asal Indonesia sudah sulit sejak tahun 2016 dengan banyaknya pabrik produksi yang tutup di Jakarta.
"Apa yang lagi best seller atau yang tetap slow moving seperti The Beatles itu kita impor. Hal yang susah itu kaset pita fisik dari Indonesia itu, misalnya kita mau cari Sheila on 7 itu sudah tidak ada produksi lagi, lumayan kalau Dewa 19 masih ada. Produksi berhenti itu mulai tahun 2016, pabrik di Jakarta sudah banyak tutup seperti Musica, Sony Music, Universal. Jadi kita mulai impor tahun 2018," ujar Hansen.
Hansen menyebutkan bahwa segmen untuk penjualan kaset pita di E.T 45 hanya sebesar 15 persen. Namun, hal tersebut tetap eksis lantaran masih dicari oleh penikmat setia kaset pita.
"Kaset pita tidak sampai 15 persen, tapi tetap masih ada. Kita jual sekarang tape yang model lama sejak kaset pita jadi tren kembali pada tahun 2019, sekarang masih tetap progresif," tuturnya.
Hansen pun menunjukkan beragam radio tape jadul yang ia jual mulai dari tahun 80an. Desain klasik dengan suara khas menjadikan radio tape ini menjadi barang vintage yang juga mulai dilirik oleh berbagai kalangan.
"Kita ada jual tape yang benar-benar teknologi baru tapi tetap pakai sistem manual. Ada yang tahun 1982 dengan harga mulai Rp 8 jutaan. Banyak yang cari untuk ini karena memorable dan suaranya lebih tebal," kata Hansen.
Selain Hansen, kolektor sekaligus penjual kaset pita di Medan John Fawer juga memiliki puluhan ribu koleksi di rumahnya, Jalan Jati II No.1 Medan. Saat ini, ia memiliki lebih dari 25 ribu koleksi kaset dari berbagai genre mulai dari pop hingga dangdut.
"Sekitar 25 sampai 30 ribu kaset itu ngumpulinnya setahun belakangan. Dulu awalnya nggak tertarik, cuman ada beberapa tamuku, waktu aku putar kaset trus dia cerita, "aku punya koleksi, tiba-tiba suatu saat aku butuh uang, belilah kasetku".
Awalnya dia hanya punya 500 kaset, tapi karena dia tahu tempatku ini dikirimnya lagi 1.500 kaset hingga sebanyak ini," kata John.
Ia menyebutkan bahwa banyaknya kaset ini tak mungkin ia dengarkan secara keseluruhan, mulai dari situ, ia pun mulai beralih ke bisnis kaset pita.
"Setelah dikirim 1.500 kaset, kan enggak mungkin lagi didengarkan ini semua. Terus aku berpikir untuk jual sembari menemukan orang-orang yang tertarik dengan kaset pita. Ternyata aku lihat di Medan pasarnya sudah mulai tumbuh. Aku ada pelanggan anak SMP dan anak SMA," ujarnya.
Selain dari kolektor, John juga banyak mendapatkan koleksi kaset pita dari para tukang botot atau penjual barang bekas. Ia pun memiliki harga bervariasi untuk mendapatkan barang tersebut.
"Kalau dapat dari kolektor jatuhnya Rp 20 ribu dan itu sudah pilihan dan sudah disortir. Tapi kalau tukang botot mungkin sekitar Rp 5.000 atau Rp 7.000 satu kasetnya. Terus dari botot ini yang paling masalah contohnya isinya tidak sesuai cover, kadang lengket dan dimakan rayap sampulnya dan lain-lain. Banyak itu kaset tidak ada sampulnya dan enggak tahu lagu siapa jadi butuh proses lagi untuk dengarkan satu-satu," jelas John.
Rata-rata koleksi kaset pita John berasal dari tahun 70-an, di antaranya ada Chrisye, Lilis Suryani, Idris Sardi, Panbers, dan lainnya. Ia pun bercerita bahwa banyak dari koleksinya tersebut merupakan band-band hits di luar negeri saat itu.
"Kalau aku koleksi banyak tahun 70-an. Kemarin sempat terkejut karena ada grup musik peranakan Belanda Indonesia namanya The God Diamonds. Selama ini aku enggak tahu, tapi ketika aku ketemu (kasetnya) aku dipancing untuk tahu siapa mereka. Ternyata sekitar tahun 1961 mereka sudah menjual 1 juta copy rekaman mereka dengan judulnya Ramona di Jerman dan 500 ribu copy terjual di Belanda," kata John.
"Sekarang ini kita kan tidak tau siapa musisi Indonesia yang sudah mengawali di kancah internasional. Ini sangat membuka cakrawala sih. Ada (kaset) fisik yang memancing kita untuk lebih tahu. Kemudian, bagi penikmat audio pastinya dia akan lebih memilih kaset pita. Karena noise-nya dapat, kalau digital kan terlalu flat, datar, dan terlalu rapi gitu. Kita kan lebih ingin dengar naturalnya. Kaset pita kan lebih mendekati ke natural, meskipun lebih natural piringan hitam," sambungnya.
Mundurnya Popularitas Kaset Pita. Baca di Halaman Selanjutnya...
Akademisi Jurusan Musik Universitas Negeri Medan Panji Suroso menyebutkan bahwa popularitas kaset pita berada pada tahun 1970-an, saat pergeseran dari era piringan hitam. Kaset pita saat itu sangat populer khususnya anak muda yang menyukai musik.
"Musik populer yang ketika itu mulai bergeser ke kaset pita pada tahun 70-an sudah mulai, tapi tahun 60-an masih piringan hitam. Ketika kaset mulai ada, itu mulai populer. Era musik pita masih masuk ke generasi tahun 80-an dan akhir tahun 90an. Tahun 2002 ke atas itu orang sudah mulai beralih ke CD," ujar Panji.
"Kalau sekarang kaset pita itu dianggap kuno, kolektor masih menggunakan, tapi saat ini generasi sekarang lebih suka yang praktis. Kalau diperhatikan pun kaset pita, itu anak-anak enggak tertarik apalagi lagunya enggak mereka kenal," lanjutnya.
Redupnya kejayaan musik pita ini, Panji menyebutkan lantaran adanya tuntutan untuk kualitas teknologi. Diantaranya kepraktisan dan juga kualitas hasil suara.
"Bagaimana kita mengatasi persoalan yang menginginkan rekaman yang stereo, noise rekaman yang baik, itu mampu dikerjakan musik digital dan lama-lama tergeser dari kebutuhan maupun efisiensi. Itu lah yang menyebabkan kaset pita yang tergeser, ini dampak perkembangan teknologi," kata Panji.
"Nah, pergeseran ini juga terjadi karena persaingan pasar. Hari ini kan meskipun popularitas kaset pita tersaingi dari format seperti CD, ada juga perkembangan digital download maupun streaming audio. Nah persoalan itu muncul yang mulai tahun 90an. Lambat laun kaset pita mulai bergeser lah. Di pasar musik, orang sudah tidak pakai itu lagi," lanjutnya.
Panji menyebutkan walau kaset pita mulai tergeser, namun masih banyak para kolektor yang tetap menjaga warisan ini. Ia menilai banyak para kolektor yang masih lebih nikmat mendengarkan lewat kaset pita ketimbang CD.
"Walaupun format diganti ke digital, kaset pita ini masih yang tetap gunakan contohnya para kolektor. Mereka merasa lebih nikmat dengarkan kaset pita dibanding cd atau musik lainnya. Itu sudah jelas, inilah yang kemudian persoalan estetik yang dirasakan penggemar baik penggemar kaset pita maupun digital lainnya. Seiring perkembangan waktu, kaset pita mengalami perubahan dalam penggunaannya. Meski sekarang jadi format yang jarang ditemui, kaset pita tetap punya tempat di masyarakat," jelasnya.
"Kaset pita punya sejarah audio dan rekaman di dunia musik. Dia punya cerita sendiri, berbeda cerita musik digital CD ataupun piringan hitam. Dan maraknya itu saya pikir lebih ramai di kaset pita. Bahkan beberapa orang hingga saat ini masih banyak merawat sebagai warisan audio. Itu poin penting," ucapnya.
Simak Video "Video: Heboh Kondisi Kandang Medan Zoo Viral Tak Terawat"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)