Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasi menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru memiliki 17 keunggulan dibandingkan KUHP lama. KUHP yang baru ini disahkan oleh DPR RI di akhir tahun 2022 yang lalu.
Keunggulan tersebut diantaranya seperti bertitik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas, tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, 11 pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan, dan penentuan sanksi pidana dengan modified delphi method, putusan pemaafan oleh hakim (Judicial Pardon).
Yenti Garnasi mengatakan keunggulan dari titik tolak asas keseimbangan bisa dilihat seperti antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu. Maupun seperti antara faktor objektif dan subjektif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keunggulan bertitik tolak dari asas keseimbangan dilihat dari antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu, antara perlindungan/kepentingan pelaku, korban dan penegakan hukum, antara faktor objektif (perbuatan/ lahiriah/ actus reus) dan subjektif (orang/ batiniah/ sikap batin/ mens rea), dengan ide daad-dader strafrecht," kata Yenti Garnasi dalam keterangan yang diterima detikSumut, Kamis (12/1/2023).
"Antara kepastian hukum, kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas, dan keadilan, antara nilai-nilai particular, nasional dan nilai-nilai global/ internasional/ universal, dan tercermin dalam 3 masalah pokok hukum pidana, yaitu perbuatan pidana/ tindak pidana, kesalahan/ pertanggungjawaban pidana, dan pidana/ pemidanaan," sambungnya.
Hal itu disampaikan oleh Yenti saat menjadi narasumber sosialisasi KUHP baru di Universitas Andalas, Sumatera Barat. Lebih lanjut Yenti menjelaskan bahwa KUHP baru itu memiliki keunggulan dari segi pertanggungjawaban pidana korporasi hingga mengatur mekanisme penerapan hukuman mati yang selama ini kerap menuai pro kontra.
"Keunggulannya ada pertanggungjawaban pidana korporasi, mengutamakan pidana pokok yang lebih ringan, perluasan jenis pidana pokok, pengawasan dan kerja sosial, pembagian pidana dan tindakan ke dalam 3 kelompok (umum, anak, korporasi), pidana denda diatur dalam delapan kategori, mengatur penjatuhan pidana mati secara bersyarat sebagai jalan tengah pro kontra pidana mati," jelasnya.
Selain itu, KUHP baru ini juga dinilai mengatur alternatif penjara soal pidana denda. Belum lagi KUHP baru itu mengatur pertanggungjawaban mutlak dan pengganti.
"Mencegah penjatuhan pidana penjara untuk TP Max 5 Tahun, mengatur alternatif pidana penjara berupa pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, mengatur pemidanaan dua Jalur, yaitu berupa pidana dan tindakan, mengatur pertanggungawaban mutlak (Strict Liability) dan pertanggungjawaban pengganti (Vicarious Liability)," ujarnya.
Guru Besar Universitas Negeri Semarang, Prof Benny yang hadir juga dalam acara itu menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia dalam konteks KUHP ini telah melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVII/2020. Putusan itu meminta pemerintah agar melakukan upaya mendengarkan pertimbangan masyarakat.
"Pemerintah meneruskan pembahasan KUHP melalui dua langkah yakni menerima masukan dari stakeholder dan masyarakat sipil termasuk praktisi hukum. Pemerintah juga melakukan public hearing yang merupakan kewajiban proses perundang-undangan yang dilaksanakan secara bermakna/meaningful participation berdasarkan putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 antara lain Right to be heard (Hak untuk didengarkan), Right to be explained (Hak untuk mendapat penjelasan), dan Right to be considered (Hak untuk dipertimbangkan)," sebut Benny.
Selanjutnya, Guru Besar Hukum Pidana UI Prof. Harkristuti Harkisnowo menjelaskan ada kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum adat yakni anggapan terjadi penyimpangan asas legalitas. Ini sama sekali tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah.
"Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa," kata Harkristuti.
Harkristuti mengatakan Tim perumus KUHP juga menjembatani semua kepentingan seperti pada perzinaan dan kohabitasi karena masih ada perdebatan tentang pasal itu. Dalam pasal tersebut, penggerebakan dilakukan jika ada delik aduan dari pasangan sah.
"Ini untuk membatasi agar tidak semua org melakukan pengaduan. Tujuan pasal perzinaan dan kohabitasi adalah untuk menghormati nilai-nilai keindonesiaan dan Lembaga Perkawinan sebagaimana dimaksud UU No. 1 Tahun 1974, sekaligus tetap melindungi ruang privat masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Universitas Andalas, Prof. Yuliandri mengatakan untuk memahami dan menjawab pertanyaan mengapa KUHP dibutuhkan maka diperlukan sosialisasi. Ada tiga esensi dasar KUHP antara lain mewujudkan UU nasional yang dasar filosofinya Pancasila, bagaimana menyesuaikan kondisi politik nasional, dan keseimbangan keadilan dalam hukum pidana.
"Ada tenggat waktu yang diberikan secara efektif selama 3 tahun. Itu ada makna yang ingin dicapai. Dengan KUHP ini akan hadir banyak skiripsi, tesis dan kajian yang menjadikan KUHP sebagai objek penelitian," ucap Yuliandri.
(afb/afb)