Nenek moyang pada rumpun Melayu di Asahan atau mereka yang saat ini mendiami wilayah pantai timur Sumatera yakni Asahan, Batubara, Tanjungbalai dan Labuhanbatu memiliki warisan kesenian bernada lirik syair nasihat bernama 'Sinandong'.
Seiring zaman berkembangnya peradaban warisan kesenian ini perlahan padam. Kini, Sinandong Asahan hanya dimainkan 'kaum tua' sebagai penjaga langgamnya. Itu pun sudah tak banyak. Sebagian besar di antaranya sudah menyerah di batas usia.
Salah satu orang tua yang masih kuat 'mondar-mandir' menjaga tradisi memainkan Sinandong Asahan pada setiap acara itu ialah Haji Khalid Batara (63) dan Mahyudin Sinaga (72).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di usia mereka yang sepuh, keduanya tetap berusaha menguatkan langkah untuk datang manakala diundang menyisip di berbagai acara. Entahkah itu pesta pernikahan, khitanan, atau kegiatan seremonial organisasi hingga wisuda. Yang penting Sinandong Asahan tetap diberi ruang.
"Jarang (diundang). Cuma kalau memang pas dipanggil (tampil) sebisa mungkin kami persiapkan datang," kata Khalid Batara saat berbincang bersama detikSumut usai mengisi kegiatan pada acara wisuda di Universitas Asahan (UNA), baru - baru ini.
Sinandong Asahan merupakan penyampaian syair - syair yang dikonsep atau bisa juga secara spontan ditampilkan dengan narasi vokal menyerupai pantun dan sarat makna. Pesan terkandung dalam Sinandong Asahan ini biasanya berisikan nasihat dan petuah para leluhur kepada masyarakat dalam konteks hiburan.
Sekarang ini, pada acara-acara seremoni baik yang digelar pemerintahan, ormas atau swasta tak banyak memang yang memberikan panggung untuk Sinandong Asahan ini.
"Tahun 80 terakhir 90-an masih dipakai di acara-acara pernikahan, sunatan atau melahirkan. Dulu sempat dilombakan juga, sekarang hilang," ujar Khalid.
Diakui keduanya, mewarisi kesenian leluhur dengan bersinandong kepada generasi muda saat ini bukan satu hal yang mudah di tengah tantangan perkembangan zaman.
![]() |
"Dulu pernah diteruskan ke anak tapi itu tadi karena enggak tau mau tampil di mana akhirnya dia pun bosan. Mau tak mau harus kita juga yang melanjutkan," ujarnya.
Kini, pesenandong Asahan tinggal terhitung jari saja, termasuk Khalid dan Mahyuddin. Mereka masih berharap ada campur tangan berbagai pihak untuk membantu melestarikan budaya ini termasuk menggerakkan generasi muda.
Baca selengkapnya soal pelestarian Sinandong di halaman berikut....
Akademisi sastra dan budaya dosen Universitas Asahan, Tarida Ilham Manurung juga ikut prihatin terhadap hal ini. Ia mengatakan, Sinandong sekiranya masih ada hanya sesekali dimainkan di beberapa tempat seperti pada komunitas Melayu Asahan di daerah Sei Kepayang, Tanjungbalai dan sekitarnya.
"Pemerintah, tokoh budaya, tokoh adat dan para sesepuh yang menguasai tentang keberadaan Sinandong juga akhirnya tidak mampu mempertahankan Sinandong. Jikapun ada saat ini hanya diisi oleh orang-orang tua yang sudah tidak lagi produktif," kata pria yang saat ini sedang menempuh program Doktor (S3) Ilmu Keguruan Bahasa di Universitas Negeri Padang ini.
Ditambahkannya, revolusi industri juga ikut berdampak pada pelestarian budaya. Sinandong biasanya menggunakan alat tradisional seperti gendang, rebab, dan gong, sementara industri musik semakin menggerus sehingga dengan mudah menggeser Sinandong.
"Harapan saran yang bisa dilakukan saat ini pemerintah daerah bisa membentuk tim pansus penyelamatan Sinandong, kemudian melakukan pemetaan konsorsium budaya di Asahan dengan mengumpulkan seluruh pegiat seni, budaya, akademi, praktisi bersama pemangku kebijakan terkait," kata dia.
Untuk diketahui, Sinandong Asahan pada tahun 2018 telah diajukan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh.
Simak Video "Video: Rekaman CCTV Minibus Tabrak Truk Tangki di Kisaran Karena Menyalip"
[Gambas:Video 20detik]
(nkm/nkm)