Berkunjung ke Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) kurang pas jika tidak melihat dan berfoto di Jembatan Ampera. Jembatan ini merupakan ikon dari kota pempek.
Jembatan Ampera berdiri kokoh di atas Sungai Musi. Jembatan ini menghubungkan daerah ilir dan ulu.
Ampera sendiri merupakan kepanjangan dari Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Jembatan ini pun sudah dikenal luas oleh masyarakat lokal, nasional bahkan internasional. Lalu bagaimana sejarah Jembatan Ampera?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarawan Kota Palembang Erwan Suryanegara menceritakan sejarah berdirinya jembatan yang menjadi ikon warga wong kito itu.
Erwan mengatakan, gagasan membangun Jembatan Ampera untuk menghubungkan dua daratan di Kota Palembang sudah ada sejak lama pada pemerintahan Hindia Belanda.
"Sudah ada (bangun jembatan), ketika Indonesia masih di bawah jajahan Hindia Belanda tepatnya sekitar 1906," katanya kepada detikSumbagsel, Selasa (23/5/2023).
Di masa itu, kata Erwan, Wali Kota Palembang Le Cocq de Ville. Namun tidak terealisasi, kemudian muncul kembali gagasan itu oleh pemerintahan Indonesia setelah merdeka.
"Jadi kita sudah merdeka tepatnya sekitar tahun 1956 pemerintah daerah Sumsel punya gagasan untuk membuat jembatan penghubung seberang ulu dengan seberang ilir. Usulan itu datang dari dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), anggarannya waktu itu Rp 30.000," ujar Dosen FISIP Unsri bidang Kebudayaan Seni ini.
Kemudian pada tahun 1957, dibentuklah panitia pembangunan untuk jembatan itu. Panitia tersebut, kata Erwan, diketuai oleh Gubernur Sumsel H.A Bastari kemudian Panglima Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya Harun Sohar, lalu Wali Kota Palembang Ali Amin dan wakilnya Indra Caya.
Setelah terbentuk, sambung Erwan, kepanitiaan itu mengajukan usulan ke Presiden Soekarno dan disetujui. Biaya pembangunannya berasal dari dana rampasan perang Jepang, sekaligus arsiteknya dari Jepang karena waktu itu Jepang sudah menguasai teknologi.
Kemudian, Jembatan Ampera mulai dibangun pada April 1962. Setelah tiga tahun pembangunan, pada tahun 1965 jembatan pun selesai.
"Pertama kali nama jembatan ini diberi nama Soekarno, namun saat itu Bung Karno tidak setuju lalu berubah menjadi Jembatan Ampera hingga sekarang dan menjadi ikon Kota Palembang," ungkap Ketua Yayasan Kebudayaan TANDIPULAU ini.
Dia menjelaskan, saat itu Jembatan Ampera ini terpanjang di Asia Tenggara dengan panjang 1.117 meter, tinggi tiang menara 63 meter dan lebarnya 22 meter.
Bukan itu saja, jembatan ini bisa diangkat ke atas. Sebab, kapal-kapal besar melintas di Sungai Musi, itulah yang membuat jembatan ini menjadi unik dan dikenal.
Untuk bisa mengangkat bagian tengah Jembatan Ampera menggunakan dua bandul dengan masing-masing seberat 500 ton. Kata Erwan, waktu kecepatan angkatnya sekitar 10 meter per menit sehingga total waktu yang diperlukan mengangkat penuh jembatan itu selama 30 menit.
"Pada tahun 1970 setelah Palembang menjadi kota besar, itu (mengangkat atas jembatan) dianggap lama hingga membuat kemacetan dan akhirnya disetop," ujarnya.
Dia menambahkan, untuk pewarnaan cat pada Jembatan Ampera juga mengalami beberapa kali perubahan. Padahal, sambungnya, pertama kali berdiri jembatan ini berwarna abu-abu.
"Warna pertamanya itu warna logam waktu itu abu-abu. Setelah itu berubah warna menjadi kuning sekitar tahun 1970-1980-an dan terakhir berubah menjadi merah hingga sekarang," ujarnya.
Erwan pun berharap warna Jembatan Ampera ini dapat kembali ke warna aslinya hingga menjadi netral.
"Harusnya kembali ke warna aslinya abu-abu metal. Apalagi metal itu kini menjadi warna milenial kekinian, lebih baik dia kembali ke warna aslinya. Saran kami dari seni dan budaya lebih bagus kembali ke warna monumental warna berlogam kekinian," harapnya.
(nkm/nkm)