Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman mati terhadap IS (16), pelaku utama pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP inisial AA (13) di kuburan Cina Palembang. Terdakwa IS dituntut mati karena JPU menilai perbuatannya tergolong sadis dan tidak ada satu hal pun yang dapat meringankan.
"Hukuman tuntutan mati yang diberikan kepada terdakwa IS ini untuk memberikan efek jera agar orang lain tidak melakukan tindak pidana yang serupa di kemudian hari," ujar Kasi Penkum Kejati Sumsel Vanny Yulia Eka Sari dalam rilis yang diterima detikSumbagsel, Kamis (10/10/2024).
Vanny menjelaskan terdakwa IS dituntut dengan pasal 76 D jo Pasal 81 ayat (5) Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terdakwa IS ini telah merencanakan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukannya. Terdakwa membekap hidung dan menyebabkan gagal napas, sehingga mengakibatkan korban AA meninggal dunia," jelasnya.
Selain itu, terdakwa melakukan pemerkosaan terhadap korban saat korban sudah meninggal dunia. Perkosaan pertama dilakukan terdakwa IS sesaat setelah korban meninggal dunia, kemudian memerintahkan terdakwa MZ, MS dan AS untuk melakukan pemerkosaan terhadap mayat AA.
Korban diperkosa dua kali ditempat berbeda saat sudah tidak lagi bernyawa. Bahkan, hasil visum juga terungkap bahwa korban sempat disodomi oleh para pelaku.
"Pertimbangan lainnya untuk mengkategorikan perbuatan yang dilakukan terdakwa IS sebagai kejahatan sadis dan biadab yang dilakukan orang dewasa, karena usia terdakwa pada saat melakukan kejahatan itu telah memasuki orang dewasa, baik ditinjau dari usia psikologis maupun biologis. Oleh karenanya, terdakwa telah memiliki kematangan secara psikologis dan biologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," katanya.
Vanny mengatakan kajian Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI tentang batasan usia di bawah 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak dinilai terlalu tinggi dan sudah tidak lagi relevan untuk kondisi usia psikologis dan usia biologis seorang anak saat ini. Hal tersebut sangat terlihat dari perbuatan IS termasuk perbuatan sadis selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
"Tuntutan Pidana Mati terhadap IS tersebut karena perbuatan yang dilakukan tersebut tergolong sadis dan biadab sehingga tidak ada satu hal pun yang dapat meringankan serta untuk memberikan efek jera agar orang lain tidak melakukan tindak pidana yang serupa di kemudian hari atau deterrent effect," tegasnya.
Apabila aparat penegak hukum membaca secara leterlek (letterlijk) batasan usia 18 tahun dalam undang-undang tidak hanya akan meringankan terhadap kejahatan sadis dan biadab yang dilakukan oleh terdakwa IS, melainkan juga dapat membuka peluang bagi pihak-pihak lain untuk memanfaatkannya sebagai celah hukum.
"Diketahui bahwa hukuman pidana bagi anak akan lebih ringan dibandingkan hukuman bagi orang dewasa," pungkas Vanny.
(des/des)