Kuasa Hukum Aon Sebut Rp 271 T Bukan Hanya Kerugian Korupsi Timah, tapi...

Bangka Belitung

Kuasa Hukum Aon Sebut Rp 271 T Bukan Hanya Kerugian Korupsi Timah, tapi...

Deni Wahyono - detikSumbagsel
Kamis, 06 Jun 2024 09:00 WIB
Kuasa Hukum Thamron, Djohan Adhi Ferdian
Kuasa Hukum Thamron, Djohan Adhi Ferdian. Foto: Deni Wahyono/detikcom
Pangkalpinang -

Kuasa hukum tersangka korupsi timah Thamron alias Aon, Jhohan Adhi Ferdian, mempertanyakan jumlah kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Kejagung disebut terjebak nilai fantastis yang mereka sampaikan sendiri.

"Kejagung ini terjebak nilai yang mereka siarkan sendiri di awal (kasus) biar heboh. Kita tidak tahu, apakah itu biar seluruh mata menatap Kejagung dengan mengeluarkan nilai yang fantastis," ujar Jhohan di Pangkalpinang, Rabu (5/6/2024).

Jhohan menilai kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu terkesan dipaksakan. Kata dia, pengamat hukum hingga ahli juga mempertanyakan nilai tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Timbul pertanyaan, apakah nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara dalam tindak pidana tersebut? Saya jawab bisa! Tetapi dengan tanda kutip 'jika dipaksakan'," tegasnya.

Menurut Jhohan, kerusakan lingkungan yang di audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bukan dari hasil korupsi komoditas timah yang tengah ditangani. Melainkan, tim audit melihat kerusakan lingkungan wilayah Bangka Belitung (Babel) secara keseluruhan saat ini.

ADVERTISEMENT

"Nilai kerusakan ekologis sebesar Rp 271 triliun bukan dihitung dari kerusakan yang diakibatkan kasus korupsi timah. Tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini," tegasnya kembali.

Secara tidak langsung, kata dia, kliennya bersama tersangka lainnya harus menanggung semua kerusakan lingkungan tersebut. Baik legal maupun ilegal atau sejak masa Kerajaan Sriwijaya hingga zaman kolonial.

"Ini sangat tidak fair, jika kerusakan akibat aktivitas pertambangan yang terjadi sejak Kerajaan Sriwijaya, kolonialisme sampai kegiatan illegal mining kemudian dilimpahkan ke 22 tersangka ini," timpalnya.

BPKP diminta untuk menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan kepada 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait. Kata dia, hal ini perlu jika BPKP tetap ngotot memasukkan kerusakan ekologis Rp 271 triliun sebagai bagian dari kerugian negara dalam kasus tersebut.

Berdasarkan pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana Jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan pasca tambang. Kemudian, Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Termasuk juga dana-dana lain yang dapat dikategorikan sebagai pendapatan negara, termasuk keterbukaan lapangan pekerjaan.

"Jika nilai kerusakan ekologis menjadi bagian dari kerugian negara maka seharusnya ke 22 orang tersangka ini hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis yang dilakukan pada medio 2015 sampai dengan 2022 saja," tambahnya.




(des/des)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads