Praperadilan Gagal Bayar Bank Jambi, Ahli: SPDP-Penahanan Bersamaan Cacat Hukum

Jambi

Praperadilan Gagal Bayar Bank Jambi, Ahli: SPDP-Penahanan Bersamaan Cacat Hukum

Ferdi Almunanda - detikSumbagsel
Selasa, 11 Jul 2023 23:10 WIB
Praperadilan gagal bayar Bank Jambi menghadirkan ahli hukum pembela Ds
Praperadilan gagal bayar Bank Jambi menghadirkan ahli hukum pembela Ds (Foto: Ferdi Al Munanda)
Jambi -

Ahli hukum pidana Universitas Hasanuddin, Prof Said Karim menilai penetapan tersangka dan penahanan Ds cacat hukum. Sebab, SPDP dan penahanan dilakukan secara bersamaan.

Hal ini terungkap dalam sidang praperadilan yang dilayangkan DS atas penetapan tersangka dugaan korupsi gagal bayar di Bank Jambi di PN Jambi, Selasa (11/7/2023).

Dalam sidang pembuktian kali ini, Ds selaku Eks Direktur Investmen Banking PT. MNC Sekuritas Tahun 2014-2019, menghadirkan ahli hukum pidana dari Unhas, Prof Said Karim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Said mengatakan penyelidikan dan penyidikan merupakan instrumen penting dalam proses penegakan hukum pidana. Proses ini penting untuk menentukan peristiwa tindak pidana.

"Ini serangkaian acara yang diatur dalam undang-undang, nanti akan ditemukan atau tidak ditemukan bukti tindak Pidana. Apabila ditemukan akan dilakukan dengan penetapan tersangka dalam suatu perkara," ungkap Said di hadapan majelis hakim yang dipimpin Rio Destrado.

ADVERTISEMENT

Ia menjelaskan apabila proses hukum naik ke tahap penyidikan, penyidik harus menerbitkan SPDPdan diberikan kepada pihak yang melakukan tidak pidana.

"Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ini jika perkara di ranah Polri, maka penyidik harus mengirimkan SPDP ke JPU. Apabila di ranah kejaksaan, penyidik harus mengirimkan ke orang yang diduga melakukan tindak pidana, jika SPDP tidak dikirimkan ke orang yang diduga melakukan tindak pidana, maka bisa diminta batal demi hukum, karena itu wajib dilakukan," jelas Guru Besar Hukum Pidana Unhas tersebut.

Menurutnya untuk menetapkan tersangka harus memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup. Selain itu, dalam bukti saksi tidak cukup hanya satu.

"Alat bukti yang sah itu, keterangan saksi, surat, keterangan ahli, hingga petunjuk. Jika dua bukti permulaan itu tidak ada maka catat hukum," jelas Said.

"Saksi harus ada satu orang atau lebih, jika satu saksi saja, maka itu disebut satu saksi bukan saksi," Said menambahkan.

Said juga mempersoalkan SPDP, Seprindik dan surat perintah penahanan di hari dan tanggal yang sama. Dia pun menilai hal itu tidak dibenarkan secara hukum.

"Bagaimana bisa tiga proses yang berbeda dilakukan secara bersamaan? jelas itu mustahil. Kalau seperti itu kapan rangkaian proses itu berjalan, itu tidak benar dan menciderai keadilan. Yang jelas terlapor ataupun tersangka ini tidak mendapatkan keadilan secara hukum, meskipun seseorang berbuat tindak Pidana harus diberikan keadilan contohnya si tersangka harus mengetahui bagaimana proses perkembangan perkaranya," ucap Said

"Lalu, surat-surat yang terbit bersamaan tersebut dapat mengakibatkan cacat administrasi dalam penegakan hukum dan menjadi cacat yuridis," lanjut dia.

Selain itu, Said juga menjelaskan soal kerugian negara yang bersifat nyata bukan didasari atas perkiraan.

"Kerugian negara itu harusnya hitungan nyata, siapa yang bisa menghitung dan menyatakan kerugian negara atau kerugian keuangan negara itu adalah BPK RI," akunya.

Seperti diketahui, terdakwa Ds melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya. Dia meminta majelis hakim menerima permohonannya karena penyidikan yang dilakukan pihak kejaksaan diduga menyalahi aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).




(mud/mud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads