Di tengah menyusutnya angka perajin bidar di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), nama Encik Muhammad Alaudin masih dikenal sebagai satu-satunya yang bertahan di Kota Pempek. Baginya, bidar bukan hanya mengikuti budaya daerah melainkan mempertahankan tradisi darah keturunan.
Pria yang akrab disapa Jaka ini merupakan generasi ketiga yang meneruskan estafet kepemilikan bidar dari keluarganya. Sejak tahun 2003, ia dan timnya telah 5 kali mengikuti kompetisi tersebut. Tak sekadar hobi, Jaka menilai melestarikan bidar adalah bentuk upayanya menjaga budaya Palembang agar selalu eksis.
"Tertarik dengan bidar karena meneruskan hobi dari orang tua dan nenek-nenek kami yang memang menyenangi bidar. Selain itu, kami sebagai warga Palembang wajib menjaga dan melestarikan budaya asli kita agar tetap eksis," ungkapnya, Kamis (14/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain tradisi keluarga, Jaka juga belajar dari senior-seniornya di kampung sebelah dalam dunia bidar. Namun, kepergian mereka tanpa regenerasi meninggalkan Jaka seorang diri sebagai perajin bidar di Kota Palembang.
"Sebenarnya dulu ada sesepuh saya yang punya dan membuat bidar dari kampung sebelah, tapi senior kami telah meninggal dunia dan generasi di sana mungkin tidak ada yang meneruskan," katanya.
"Dulu waktu saya pertama kali buat bidar, ada 25 jumlah perahu bidar. Berangsur waktu, perajinnya mungkin berkurang minatnya. Tahun ini hanya 10 perahu (yang mengajukan)," kata dia.
Sebelum berlomba, ia dan timnya yang diberi nama Tatang Putra Group menggelar doa bersama dan penyiraman air bunga ke perahu bidar. Jaka tak secara gamblang menyebutnya sebagai ritual, ia hanya mengatakan bahwa prosesi tersebut adalah kebiasaan yang diajarkan leluhur.
"Jadi kebiasaan dari orang tua di kampung ini, kami yasinan dan selamatan pada saat mau ikut lomba. Ada siram air kembang ke perahu dan makan nasi bersama anak-anak pendayung," jelasnya.
"Kami tidak berani menyebut ini sebagai ritual, hanya kebiasaan. Intinya untuk meminta keselamatan agar terhindar dari bala," sambung Jaka.
Lomba bidar menjadi waktu yang paling ia tunggu di setiap tahunnya. Menurutnya, melihat pelepasan perahu-perahu bidar untuk lomba memiliki magis tersendiri yang meningkatkan adrenalin.
"Keseruan bidar itu, terdapat pada saat bidar dilepas. Laju bidar di jalur yang bersamaan dan saling mendahului. Di situlah keseruannya nonton bidar di Sungai Musi," ujarnya antusias.
Berbagai prestasi pun pernah Jaka dan timnya torehkan dalam kompetisi tersebut.
"Alhamdulillah kami sudah juara 1 di tahun 2009 dan 2016. Pernah juga juara 2, 3, dan harapan. Harapan kami tahun ini juara lagi," sebutnya.
Menurut Jaka, mempertahankan perahu bidarbukanlah hal mudah. Setidaknya Rp 100 juta harus ia kantongi untuk membuat satu perahu berukuran 31 meter tersebut.
"Biaya yang dikeluarkan kurang lebih RP 65-70 juta per unit. Rumah bidarnya beserta upah dan tukangnya Rp 15 juta, belum biaya lain-lain. Jadi total keseluruhan hampir Rp 100 juta," rincinya.
Meski begitu, ia mengaku pernah mengalami kejadian yang tak mengenakkan. Jaka mengatakan, bidarnya sempat tertabrak kapal penonton saat berlomba tahun 2024 lalu.
"Ada kejadian tidak enak. Tahun 2024 kemarin, perahu kami menabrak tongkang dan kena ketek penonton. Sudah minta ulang ke panitia, namun tak disetujui," katanya.
Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk berkompetisi dalam Festival Perahu Tradisional Bidar 2025. Tahun ini, ia akan menerjunkan 2 perahu yang dibuat di kampungnya sendiri, Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Semangat ini pun ia teruskan kepada keturunannya.
"Anak saya masih sekolah, tapi sudah giat membantu (saat membuat) dan belajar mendayung. Insya Allah ilmu dan pengalamannya kami arahkan pada penerus kami, baik anak saya maupun anak-anak kampung sini," tuturnya.
(dai/dai)