Ada banyak cerita rakyat dari Provinsi Lampung. Berikut ini 13 di antaranya yang bisa detikers maknai.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman. Mulai dari cerita rakyat, makanan khas, tarian, lagu dan keberagaman lainnya. Keragaman ini menjadi ciri khas bagi setiap daerah di Indonesia.
Cerita rakyat merupakan sebuah kisah yang diturunkan secara turun temurun dan mengandung nilai-nilai luhur, serta nasihat bagi manusia agar senantiasa berbuat baik kepada sesama dan selalu ingat pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki ragam cerita rakyat yang menarik, termasuk Provinsi Lampung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penasaran apa saja cerita rakyat dari Provinsi Lampung? Simak 13 cerita rakyat dari Lampung berikut ini, yang detikSumbagsel rangkum dari buku Cerita Rakyat Lampung Barat.
Cerita Rakyat dari Lampung:
1. Asal-usul Nama Lampung
Cerita rakyat ini mengisahkan tentang sejarah asal-usul nama Lampung. Konon, nama Lampung berasal dari nama seseorang asal Tapanuli, Ompung Silamponga. Ia terpaksa pergi dari Tapanuli akibat bencana gunung meletus yang kemudian terdampar di daerah Krui, yang merupakan cikal bakal perkembangan kebudayaan Lampung.
Di daerah yang saat ini disebut Tapanuli, meletuslah sebuah gunung berapi. Akibat letusan tersebut banyak penduduk yang meninggal terkena semburan lahar. Namun banyak juga penduduk yang berhasil menyelamatkan diri, termasuk empat orang bersaudara yakni Ompung Silitonga, Ompung Silamponga, Ompung Silaitoa dan Ompung Sintalanga. Mereka pergi meninggalkan Tapanuli menuju arah tenggara untuk menyelamatkan diri.
Suatu hari, sampailah Ompung Silamponga di suatu bukit yang tinggi. Ia terkagum-kagum dengan keindahan bukit itu, apalagi dari kejauhan terlihat dataran rendah yang sangat luas. Karena hatinya sangat senang, tanpa disadarinya ia meneriakkan 'Lappung.. Lappung... Lappung!' yang artinya luas dalam bahasa Tapanuli.
Para ahli sejarah Lampung mengatakan nama Lampung diambil dari nama Ompung Silamponga. Tetapi ada juga yang menyebutkan nama Lampung berasal dari ucapan Ompung Silamponga ketika berada di atas bukit.
2. Asal-usul Nama Liwa
Cerita rakyat ini bercerita tentang asal-usul nama Liwa yang berasal dari bahasa Arab yang berarti bendera. Maksud dari bendera ini adalah bendera kemenangan Kerajaan Paksi Pak yang ditancapkan di Puncak Gunung Pesagi, setelah melawan penguasa Skala Brak Kuno.
Para maulana dari empat kepaksian yaitu Kepaksian Belunguh, Pernong, Bejalan Diway, dan Nyerupa menancapkan bendera sebagai tanda kemenangan di Puncak Gunung Pesagi. Bendera itu bernama Al-Liwa yang kemudian menjadi nama salah satu daerah di Lampung.
3. Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat
Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat menceritakan tentang seorang pemuda bernama Serunting yang memiliki kekuatan sakti mandraguna. Ia merupakan seorang pemuda asal Majapahit yang diusir dari istana lalu berkelana ke Sumatera.
Arya Tebing, adik ipar Serunting, iri dengan kesaktian Serunting. Ia membujuk kakaknya yang merupakan istri Serunting untuk mengungkap kelemahan suaminya. Setelah mengetahuinya, Arya Tebing menantang Serunting bertarung dan berhasil melukai Serunting di tempat kelemahannya.
Serunting terluka parah dan mengasingkan diri di Gunung Siguntang. Selama pengasingannya, ia berdoa dan akhirnya memperoleh kemampuan ajaib berupa apa pun yang diucapkannya menjadi kenyataan.
Serunting kemudian dijuluki Si Pahit Lidah karena kekuatannya itu. Namun, kesaktiannya membuat dirinya menjadi sombong. Kesaktiannya terdengar oleh Si Empat Mata, seorang sakti dari India.
Mereka bertarung berhari-hari tanpa hasil. Seorang tetua kampung kemudian mengusulkan mereka memakan buah aren. Si Pahit Lidah yang sombong memakan buah tersebut dan mati. Si Empat Mata yang merasa aneh, mencoba memakan buah yang sama dan juga mati. Keduanya akhirnya tewas karena kesombongan dan dimakamkan di Danau Ranau.
4. Kelekup Gangsa Ular Naga Danau Ranau
Kelekup Gangsa Ular Naga Danau Ranau mengisahkan tentang legenda ular naga yang konon katanya berada di dalam Danau Ranau. Ular naga itu merupakan jelmaan dari sebuah kentongan yang bernama Kelekup Gangsa, yang dimiliki oleh sebuah keluarga besar yang tinggal di sekitar Danau Ranau.
Pada zaman dahulu, di Pekon Way Mengaku, seorang pria dari Gunung Aji Ranau menikah dengan Se Buay yang dalam adat Lampung dikenal sebagai Bakas Semanda (sistem matrilineal). Dari pernikahan itu lahir tujuh anak laki-laki, yang kemudian dikenal dengan nama 'Tian Pitu Jong'. Mereka menyebar ke berbagai wilayah di Lampung dan Banten.
Keluarga ini memiliki sebuah pusaka berupa kentongan yang disebut Kelekup Gangsa, yang konon bunyinya bisa terdengar hingga Pulau Jawa. Pusaka ini kemudian dicuri oleh keluarga suami Se Buay dan direndam di Danau Ranau selama perjalanan.
Keesokan harinya, kentongan tersebut berubah menjadi seekor Ular Naga, yang menjadi legenda di masyarakat Way Mengaku. Hingga kini, cerita tentang Ular Naga ini diwariskan dari generasi ke generasi, tanpa dokumentasi tertulis.
Keluarga keturunan Se Buay masih percaya bahwa Ular Naga tersebut menghuni Danau Ranau, dan pengalaman mistis di sekitar danau sering dikaitkan dengan keberadaan sang Naga.
5. Asal-usul Nama Desa Sri Menanti
Cerita rakyat ini menceritakan tentang asal-usul nama Desa Sri Menanti yang letaknya di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Lampung Barat. Diceritakan bahwa nama Sri Meranti berasal dari kisah kesetiaan seorang wanita dalam menunggu kekasihnya yang pergi merantau. Akan tetapi hingga akhir hayatnya, suaminya tak kunjung pulang ke kampung halaman.
Menurut cerita tetua di Desa Sri Meranti, dahulu kala ada sepasang kekasih yang hendak menikah namun tidak direstui oleh orang tua pihak wanita, karena sang lelakinya miskin. Hingga pada akhirnya, lelaki itu pergi merantau agar perekonomiannya setara dengan pihak keluarga wanita, dan berjanji akan kembali lagi untuk menikahi wanita itu.
Saat lelaki itu pergi merantau, si wanita dijodohkan dengan berbagai pemuda oleh orang tuanya. Namun, ia bersikeras menolak dan tetap ingin menunggu kekasihnya pulang dari merantau hingga orang tuanya pun akhirnya pasrah. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu hingga ia tak kunjung kembali setelah bertahun-tahun pergi. Sang wanita tetap menunggu hingga ajal menjemputnya.
Dari kejadian itu, maka desa tersebut dinamakan Sri Meranti. Sampai saat ini, masyarakat percaya apabila seorang anak perempuan beranjak remaja harus segera dinikahkan. Jika tidak segera dinikahkan, anak perempuan itu akan menjadi perawan tua.
6. Kisah Batu Katai dan Larangan Menikah Antara Warga Desa Gandasuli dan Desa Kunyanyan
Cerita ini mengisahkan tentang kakak beradik, penguasa kerajaan di Desa Kunyanyan yang diadu domba oleh Raja Desa Gandasuli yang ingin merebut kekuasaan. Akibat akal bulus Raja Gandasuli, sang kakak yang juga seorang raja bernama Depati Sai Bekhak Bumi terpaksa membunuh adiknya sendiri, sekaligus panglima perang sakti mandraguna yang bernama Jamakhali.
Alkisah, ada kakak beradik. Sang kakak bernama Depati Sai Bekhak Bumi. Ia adalah raja Desa Kunyayan dan adiknya Jamakhali yang merupakan seorang panglima sakti.
Jamakhali sangat kuat dan ditakuti hingga ia mampu membuat wilayah kekuasaan kakaknya semakin besar. Namun, Raja Gandasuli merencanakan tipu muslihat untuk memecah belah mereka. Dia memberi cincin kepada Jamakhali, lalu memfitnah Jamakhali dan istri Depati Sai Bekhak Bumi saling menyukai.
Depati Sai yang termakan fitnah berusaha membunuh Jamakhali. Namun, usahanya itu gagal karena kesaktian adiknya.
Karena kasih sayang Jamakhali kepada kakaknya begitu besar, maka Jamakhali memberi tahu kelemahannya pada Depati Sai dan Depati pun membunuhnya. Setelah Jamakhali mati, Raja Gandasuli mengambil wilayah Kunyayan.
Depati Sai sangat menyesal telah membunuh adiknya. Ia bersumpah jika keturunan Desa Kunyayan dan Gandasuli menikah, salah satu dari mereka akan meninggal. Sumpah itu dipercayai hingga kini.
7. Legenda Batu Kepampang
Cerita ini mengisahkan tentang legenda Batu Kepampang, yang merupakan salah satu situs purbakala di Kabupaten Lampung Barat.
Di Lampung Barat tepatnya di daerah Kinali, terdapat sebuah kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu, masyarakat hidup aman karena adanya hukum yang melarang kejahatan seperti membunuh dan mencuri.
Pelanggar hukum akan dihukum mati dengan cara dipenggal di atas sebuah batu yang disebut Batu Kepampang, yang juga dijadikan persembahan kepada dewa.
Batu Kepampang menjadi simbol ketakutan bagi para penjahat yang disebut Irawan, karena hukumannya yang berat. Namun, setelah datangnya pengaruh agama Islam dan kolonialisme, hukuman ini dihapuskan. Hingga kini, legenda Batu Kepampang masih diceritakan sebagai pengingat bagi masyarakat untuk berbuat baik dan tidak mengganggu orang lain.
8. Asal-usul Nama Way Mengaku
Cerita ini mengisahkan tentang asal-usul atau sejarah penduduk Way Mengaku serta kata Pekon Way Mengaku, yang sekarang dengan aturan pemerintah telah menjadi Kelurahan Way Mengaku di Kabupaten Lampung Barat.
Dahulu kala, ada empat keluarga yang datang dari India ke Lampung dan menetap di beberapa lokasi, termasuk Lampung Barat, tepatnya di Pulau Pinang. Keturunan pertama dari keluarga ini adalah seorang perempuan bernama Se Buay, dan keturunan kedua adalah laki-laki.
Meskipun Se Buay adalah anak tertua, dalam adat patrilineal Lampung, tanggung jawab diwariskan kepada anak laki-laki, sehingga keluarganya dikenal sebagai Buay Mengaku, yang kemudian berubah pengucapannya menjadi Way Mengaku.
Keturunan dari adik laki-laki Se Buay menjadi bagian dari Paksi Pak Marga Liwa, dengan lokasi di Pasar Liwa, Sebarus, dan Way Empulau Ulu. Sementara keturunan Se Buay tersebar karena sebuah pesta besar bernama Pesta Irau, di mana keluarga Se Buay tidak dapat memenuhi persyaratan pesta. Alat pemanggil keluarga, kelekup gangsa, juga dicuri, menyebabkan keturunan Se Buay tersebar, meskipun diyakini mereka akan kembali mencari asal-usul mereka suatu hari nanti.
Keturunan terakhir dari keluarga itu saat ini adalah Suntan Pemuka Sandaran Agung. Cerita ini menggambarkan sejarah penduduk Way Mengaku, yang sekarang telah menjadi kelurahan, dengan warisan yang sangat tua namun sebagian besar belum terdokumentasikan karena kurangnya minat masyarakat terhadap sejarah.
9. Salui Pitu Batu Brak Lampung Barat
Kisah ini menceritakan sejarah Salui Pitu, sebuah pemandian dengan tujuh pancuran yang terletak di Kabupaten Lampung Barat. Menurut legenda, pemandian ini dimiliki oleh tujuh putri dari seorang raja di Kerajaan Sekala Brak.
Suatu ketika, wilayah kerajaan mengalami kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan parah. Berkat kebaikan hati dan kebijaksanaan para putri, mereka membuka akses pemandian tersebut untuk digunakan oleh seluruh rakyat yang memerlukannya.
Di Kerajaan Sekala Brak, dahulu dipimpin oleh seorang raja bijaksana yang dicintai rakyatnya. Negeri itu makmur, dengan sumber pangan melimpah. Raja dan keluarganya tinggal di Lamban Gedung, rumah panggung megah yang memiliki sawah dan pegunungan indah di belakangnya serta sumber mata air jernih yang tak pernah kering bahkan saat kemarau. Sumber air ini diubah menjadi kolam pemandian dengan tujuh pancuran yang digunakan oleh tujuh putri raja dan dinamakan Salui Pitu.
Ketika kerajaan dilanda kemarau panjang yang menyebabkan sawah kering dan rakyat kelaparan, Raja sedih melihat penderitaan rakyatnya. Meski sudah mengerahkan orang kepercayaan untuk mencari sumber air, tetap saja mereka gagal.
Melihat ayahnya yang kesusahan, para putri sepakat membuka kolam pemandian mereka untuk digunakan oleh rakyat dengan syarat menjaga kebersihan kolam pemandian itu. Raja terharu dan mengumumkan bahwa semua orang boleh memanfaatkan Salui Pitu.
Sejak saat itu, Salui Pitu selalu ramai dikunjungi warga. Karena ketulusan hati para putri, pemandian tersebut dianggap diberkati para dewa. Ada pepatah yang mengatakan bahwa siapa yang mandi di sana akan diberkati kecantikan dan ketulusan seperti para putri raja.
10. Budaya Pesta Iraw
Cerita ini mengisahkan tentang sejarah budaya Iraw, yaitu adat pada pesta perkawinan atau hajatan besar yang ada di salah satu wilayah di Kabupaten Lampung Barat. Pesta Iraw ini terkenal akan syarat-syaratnya yang sulit dipenuhi sehingga banyak yang gagal melaksanakannya.
Pesta Iraw adalah pesta pernikahan besar dan meriah untuk anak Se Buay 'Sebatin Balak' yang diselenggarakan di Kidupan, depan Kejaksaan Negeri Liwa, dekat Pering Belabar. Pesta ini memerlukan persyaratan yang sangat berat, termasuk menyembelih seorang perawan dengan syarat-syarat seperti lipas ketara, tungu sang runcung, suyuh kegundang, dan kebau belang. Namun, persyaratan tersebut selalu gagal dipenuhi secara lengkap, sehingga keluarga besar yang terlibat merasa malu.
Akibatnya, beberapa keluarga mengungsi atau 'Irau' ke berbagai tempat seperti Tanjung Heran Sukau, Sekuting, Kalianda, hingga Banten. Kejadian itu meninggalkan bukti berupa batu tempat acara di tengah kebun kopi, sementara bambu-bambu Pering Belabar telah habis digunakan untuk pertanian di daerah tersebut.
11. Kisah Penjelmaan Raja Penabokh Menjadi Harimau
Cerita rakyat tentang Banjar Manis menggambarkan asal-usul nama tempat-tempat dan tokoh legendaris seperti Raja Penabokh. Nama Way Awi berasal dari banyaknya bambu di sekitar sungai itu, sedangkan Banjar Batin didirikan oleh penduduk yang berpindah dari Putih Doh.
Penduduk Tanjung Manis datang kemudian dipimpin oleh Raja Penabokh, yang memiliki ilmu tinggi dan dihormati. Termasuk kemampuan menaklukkan binatang dan musuh.
Dalam cerita, Raja Penabokh menjalin perjanjian dengan seekor kuya (labi-labi) yang ia selamatkan, dengan kawanan gajah yang pernah menyerang desanya. Raja Penabokh berhasil meredam kemarahan gajah, tetapi satu gajah besar menolak perjanjian dan terlibat pertarungan dengan Penabokh, yang akhirnya memaafkannya setelah mengalahkannya.
Raja Penabokh memiliki dua adik yang kemudian merasa dendam karena diperlakukan keras. Mereka merantau ke Jawa untuk belajar ilmu dan mengetahui kelemahan Penabokh terkait pedangnya yang bertuah.
Kelemahannya terletak pada sarung pedang. Ketika adiknya mencuri sarung tersebut, kekuatan Penabokh hilang. Malu atas kekalahannya, Penabokh jatuh sakit dan meninggal, lalu menjelma menjadi harimau. Hingga kini, masyarakat percaya bahwa harimau itu adalah perwujudan Raja Penabokh.
12. Asal-usul Rumpun Seminung
Cerita ini mengisahkan asal muasal Rumpun Seminung, yang diceritakan mereka berasal dari wilayah Danau Ranau.
Kata 'Lampung' diyakini berasal dari 'Anjak Lambung' yang merujuk pada dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Cerita turun-temurun itu menyebutkan leluhur masyarakat Lampung pertama kali bermukim di sana. Penjelajahan suku ini mengakibatkan terbentuknya berbagai kelompok yang menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Lampung Barat, Krui, dan Bengkulu.
Salah satu kisah sejarah menyebutkan setelah banjir zaman Nabi Nuh, sekelompok umat turun dari Gunung Seminung dan membentuk komunitas besar yang kemudian dikenal sebagai 'Orang Lampung' dengan asal-usul dari Sungai Selabung. Perkembangan suku ini berujung pada pendirian Kerajaan Sekala Brak.
Kerajaan Sekala Brak diyakini sebagai pusat peradaban awal etnis Lampung. Sejarawan menghubungkannya dengan dua era: Hindu-Buddha dan Islam. Bukti arkeologi, seperti prasasti dan penelitian, mengindikasikan bahwa kerajaan ini memainkan peran penting dalam sejarah kawasan. Peradaban kuno ini kemudian terhubung dengan kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya.
13. Asal-usul Danau Ranau
Masyarakat setempat memiliki beragam cerita mengenai asal-usul Danau Ranau. Meski secara ilmiah diyakini terbentuk dari proses geologis, banyak yang percaya bahwa danau ini berasal dari pohon ara besar.
Konon, saat akan menebang pohon tersebut, muncul burung yang memberi petunjuk untuk membuat alat pemotong. Setelah pohon tumbang, air keluar dan membentuk danau, sementara pohon itu menjadi Gunung Seminung. Jin di Gunung Pesagi pun meludah, menciptakan sumber air panas di dekat danau.
Di Pekon Sukabanjar, terdapat makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Si Pahit Lidah, yang diusir dari Kerajaan Majapahit, memiliki kemampuan mengubah kata-katanya menjadi nyata. Dalam sebuah pertemuan, Si Pahit Lidah tewas karena memakan buah yang menjadi pantangannya, diikuti oleh Si Mata Empat yang mencoba menjilat lidahnya. Kuburan mereka ditemukan di tepi Danau Ranau.
Itulah 13 cerita rakyat dari daerah Lampung. Semoga artikel ini dapat menjawab rasa penasaran detikers mengenai cerita rakyat dari Lampung.
Artikel ini ditulis oleh Wulandari, peserta program Magang Merdeka Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/dai)