Ekonom Ungkap Dampak Tertekannya Rupiah ke Industri hingga Harga BBM

Nasional

Ekonom Ungkap Dampak Tertekannya Rupiah ke Industri hingga Harga BBM

Herdi Alif Al Hikam - detikSumbagsel
Senin, 17 Jun 2024 13:00 WIB
ilustrasi angsuran KUR
Rupiah. Foto: Dok.Detikcom
Palembang -

Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus tertekan beberapa waktu belakangan. Dolar AS sempat menembus angka Rp 16.400. Hal ini dinilai ekonom bakal membuat harga-harga melonjak dalam waktu dekat.

Dilansir detikFinance, Dolar AS sudah beberapa minggu naik dari level Rp 15.000 yang selama ini tergolong stabil. Lonjakannya tembus ke angka Rp 16.000, bahkan yang tertinggi mencapai Rp 16.4000.

Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal memperkirakan masyarakat akan merasakan dampak harga-harga naik apabila nilai tukar Rupiah dengan Dolar AS tidak kunjung turun.

"Tentu saja kalau terjadi pelemahan akan membuat barang-barang impor lebih mahal. Artinya ini akan akibatkan ekonomi biaya tinggi bagi konsumen dalam negeri yang membeli barang impor naik. Ini juga akan dirasakan industri yang impor bahan baku dari luar negeri," papar Faisal, Minggu (16/6/2024).

Faisal menyebutkan beberapa industri yang terdampak penguatan Dolar AS ini di antaranya farmasi, elektronik, otomotif, tekstil, dan pangan. Sebab, industri-industri tersebut selama ini bergantung pada bahan baku impor.

"Yang rawan itu yang paling besar ketergantungan impornya. Selama ini kan obat-obatan farmasi, industri manufaktur seperti otomotif dan elektronik juga lumayan banyak bahan baku dan industri penolongnya," lanjut Faisal.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda juga berpendapat serupa. Selain industri di atas, Nailul menyoroti kemungkinan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), mengingat Indonesia adalah negara importir minyak dan BBM yang dibeli dalam Dolar AS.

"Imported inflation meningkat. Harga BBM yang biasanya akan dikorbankan," ungkap Nailul.

Apabila Dolar AS terus menguat, tidak menutup kemungkinan subsidi BBM akan dipangkas dan harga pun naik. Jika kondisi ini terjadi, Nailul memprediksi daya beli masyarakat akan ikut menurun dan pertumbuhan ekonomi melambat.

"Inflasi dalam negeri akan naik signifikan. Daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat. Kemiskinan akan semakin meningkat," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengungkapkan dampak penguatan Dolar AS ini terhadap APBN. Belanja pemerintah yang kental dengan impor, misalnya energi dan pertahanan, akan membengkak.

"(Belanja) APBN jadi lebih bengkak karena asumsi Dolar AS dipakai untuk belanja pemerintah yang terkait impor dan cicilan utang serta bunga menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang," jelas Esther.

Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia menilai tertekannya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS ini masih terkendali jika dibandingkan mata uang lain. Seperti Bath Thailand dan Peso Filipina.

"Rupiah (nilai tukar rupiah terhadap dolar AS) Rp 16.300 tolong dilihat dari akhir tahun kemarin dan tolong dibandingkan dengan negara lain, sangat lebih rendah dibandingkan dengan Korea Selatan, bandingkan dengan Peso Filipina, Baht Thailand, Yen Jepang. Depresiasi kita termasuk rendah," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo di Istana Kepresidenan, Jumat (14/6/2024) lalu.




(des/des)


Hide Ads