Kata Pakar Soal Dokter Dipaksa Buka Masker oleh Keluarga Pasien TBC di Muba

Kata Pakar Soal Dokter Dipaksa Buka Masker oleh Keluarga Pasien TBC di Muba

Nafilah Sri Sagita K/Suci Risanti Rahmadania - detikSumbagsel
Kamis, 14 Agu 2025 19:35 WIB
Tangkap layar video viral dokter di Muba saat dianiaya keluarga pasien.
Foto: Tangkap layar video viral dokter di Muba saat dianiaya keluarga pasien. (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Kasus dokter di RSUD Sekayu yang mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan keluarga pasien berbuntut panjang. Dokter bernama dr Syahpri Putra Wangsa, SpPD, KGH, FINASIM saat itu dipaksa buka masker oleh keluarga pasien yang diduga menderita penyakit TBC.

Dilansir detikcom, dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial memperlihatkan seorang dokter di RSUD Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, dimarahi keluarga pasien bahkan dipaksa buka masker saat bertugas di RSUD Sekayu pada Selasa (12/8) pagi.

Terlihat, keluarga pasien tampak emosi dan memaksa seorang dokter untuk membuka masker di hadapan pasien wanita yang tengah berbaring. Dokter tersebut menjelaskan bahwa pasien kehilangan kesadaran lantaran mengalami hipoglikemia atau gula darah rendah, dan tekanan darah yang tak terkontrol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian setelah diperiksa lebih lanjut, didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran bercak di paru-paru kanan yang mengindikasikan gejala khas dari tuberkulosis (TBC/TB).

"Jadi ibunya masuk rumah sakit dengan kondisi tidak sadar dengan hipoglikemia, dengan gula darah rendah. Kemudian tekanan darah yang tidak terkontrol. Kemudian kita melakukan pemeriksaan, dilakukan dan didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran bercak di paru-paru kanan. Gambaran dari khas dari TBC," ucap dokter dalam video tersebut.

ADVERTISEMENT

"Kamu tau infiltrat itu apa? Kamu tau tindakan apa harus seperti apa? Kamu dokter kan? Kamu belum tahu saya kan? Sekarang saya tanya, tindakan yang tempat kalau hanya TBC seharusnya seperti apa? Bukan nunggu sehari-dua hari untuk dahak seperti ini. Ini rumah sakit rsud sekayu, kamu coba bilang apa tadi? Kamu belum tahu saya kan? Kamu cuma menunggu dahak ibu saya, mengasih obat-obatan, kamu bilang nunggu dahak, hanya menunggu dahak untuk menguji lagi ke laboratorium tanpa ada tindakan yang pasti," ucap keluarga pasien.

Terkait kasus tersebut, Guru Besar Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr dr Erlina Burhan, SpP(K) menegaskan salah satu langkah penting untuk meningkatkan akurasi diagnosis TB adalah melalui pemeriksaan dahak untuk Tes Cepat Molekuler (TCM).

Menurut Prof Erlina, pemeriksaan dahak memang diperlukan untuk memastikan diagnosis. Namun, dalam kasus pasien yang tidak bisa mengeluarkan dahak, dokter biasanya menilai dari gejala klinis dan hasil foto rontgen.

"Kalau untuk meningkatkan diagnosis TBC ya salah satunya harus diperlukan pemeriksaan dahak, pemeriksaan TCM," ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (13/8/2025)

"Harus periksa dahak. Walaupun memang kadang-kadang kalau pasien nggak bisa periksa dahak, nggak keluar, kita berdasarkan keluhannya dan juga foto ronsennya. Foto ronsennya kan kata dokternya yang saya dengar memang ada lesi TB kan? Tapi kan untuk memastikan pemeriksaan dahak," lanjutnya lagi.

Prof Erlina menjelaskan pemeriksaan TCM sangat penting untuk mendeteksi resistensi TB sejak dini. Tes ini kini menjadi pemeriksaan awal yang direkomendasikan secara nasional, khususnya di fasilitas kesehatan yang sudah memiliki alatnya. Dia juga menyayangkan tindakan keluarga yang memaksa dokter tersebut untuk membuka masker.

Sementara itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) mengecam keras tindakan kekerasan yang dialami dr Syahpri Putra Wangsa. PAPDI menyebut perlakuan tersebut termasuk kriminalisasi lantaran keluarga pasien melontarkan perkataan kasar, ancaman, intimidasi, hingga tindakan fisik berupa memegang leher dan melepas masker medis yang digunakan dr Syahpri saat memeriksa pasien.

Mengacu Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PAPDI secara tegas menekankan amanat perlindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya sesuai standar yang berlaku.

PAPDI sepenuhnya mendukung kriminalisasi tersebut dilanjutkan ke ranah hukum demi keadilan anggota yang menjadi korban.

"Mengharapkan aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi secara adil, profesional, dan sesuai ketentuan, agar perbuatan serupa tidak terulang," demikian sorot PAPDI dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (14/8/2025).

PAPDI meminta sejumlah rumah sakit, dinas kesehatan, juga Kementerian Kesehatan RI bisa sepenuhnya menciptakan lingkungan kerja aman dan kondusif.

"Dengan kerja sama dan komitmen bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi dokter dan tenaga kesehatan, serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat," lanjut PAPDI.

PAPDI berharap kasus yang menimpa dr Syahpri menjadi momentum bagi semua pihak untuk memperkuat perlindungan tenaga medis. Komunikasi yang sehat antara tenaga kesehatan dan pasien dinilai menjadi kunci terciptanya layanan kesehatan yang bermutu sekaligus aman.




(dai/dai)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads