Pemerintah Kota Bandar Lampung diminta serius menangani permasalahan banjir. Alih-alih warganya selalu dipersoalkan dengan banjir, Pemkot Bandar Lampung justru semakin dinilai membuang-buang anggaran dengan membangun infrastruktur yang tidak penting.
Seperti diketahui belum lama ini, Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana telah meresmikan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Milenial yang terbentang dari Kantor Wali Kota menuju Masjid Al-Furqon. Proyek ini menghabiskan anggaran sekitar Rp 20 miliar.
Dalam peresmian itu, Eva juga menyampaikan rencananya untuk membangun kembali flyover dan jembatan gantung yang direncanakan akan dibangun dari rumah dinasnya menuju wilayah Teluk Betung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, proyek pembangunan Menara Chinatown juga dengan menghabiskan anggaran senilai Rp 26 miliar dinilai tidak tepat. Alih-alih serius ingin menangani permasalahan banjir, Pemkot Bandar Lampung hanya menganggarkan program normalisasi sungai sebesar Rp 10 miliar.
Padahal dalam dua peristiwa banjir yang terjadi pada Januari dan Februari 2025, seluruh wilayah di Bandar Lampung dipastikan terdampak. Dari catatan detikSumbagsel, pada Januari 2025 lalu banjir melanda 16 dari total 20 kecamatan se-Kota Bandar Lampung.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung tercatat rumah warga yang terdampak sebanyak 14.160 rumah, sementara untuk jumlah kepala keluarga (KK) ada sebanyak 518 KK dengan total penduduk yang terdampak sebanyak 11.223 jiwa, di mana 2 di antaranya meninggal dunia.
Kemudian yang terbaru pada bulan Februari 2025 ini, BPBD Provinsi Lampung mencatat 9.425 rumah warga di 14 kecamatan terendam air. Jumlah masyarakat yang terdampak banjir sebanyak 30.935 jiwa dari 9.588 Kartu Keluarga (KK), di mana 3 warga meninggal dunia.
Ridwan, salah satu warga Kecamatan Tanjung Senang meminta Wali Kota Bandar Lampung baiknya fokus pada penanganan banjir dan infrastruktur perbaikan jalan.
"Ngapain bangun JPO yang hanya digunakan untuk ASN aja, itu JPO kan dari kantor wali kota ke masjid. Cobalah fokus pada banjir, kalaupun mau buat infrastruktur, baiknya perbaiki jalan-jalan, karena hampir di semua Kota Bandar Lampung ini semua jalan itu rusak, tambal-tambalan, itu yang di bawah JPO yang baru dibangun saja tambalan jalannya," ungkap dia.
Ia berharap tidak ada lagi warga Bandar Lampung yang meninggal dunia akibat banjir yang disebabkan buruknya upaya penanganan dan pengentasan masalah tersebut.
"Dari Januari sampai kemarin kan sering banjir. Sudah 5 warga yang saya baca di media itu meninggal dunia. Kalau nggak diatasi bisa-bisa banyak warga yang meninggal lagi gara-gara banjir ini. Jadi ibu Eva, saya sebagai warga berharap ada solusi dan jalan keluarnya, karena kami nggak butuh bantuan makanan itu, kami butuh gimana caranya nggak banjir lagi," jelasnya.
Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri menyampaikan rasa prihatin dan duka mendalam atas bencana banjir yang melanda Kota Bandar Lampung. Ia menegaskan bahwa banjir ini tidak terlepas dari buruknya kondisi dan pengelolaan lingkungan di Kota Bandar Lampung.
"Faktor-faktor seperti minimnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, tata kelola kota yang kurang baik, sistem drainase yang buruk, serta pengelolaan sungai dan sampah yang tidak optimal turut berkontribusi terhadap terjadinya banjir," katanya, Senin (24/2/2025).
"Jika tata kelola lingkungan tidak segera diperbaiki dan langkah-langkah mitigasi tidak diambil, bencana banjir seperti ini akan terus berulang dan semakin sulit untuk dihindari. Pemerintah ke depan harusnya lebih sadar dan tanggap, bukan hanya sebatas memberikan bantuan dan respon setelah terjadinya banjir tetapi persoalan banjir ini persoalan struktural yang harus segera ditangani oleh pemerintah kota bandar lampung," sambungnya.
Dia juga menyinggung terkait pembangunan fisik yang direstui oleh Eva Dwiana yang dianggap banyak pihak tidak memiliki urgensi dan menghabiskan anggaran.
"Jangan sampai atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, lingkungan hidup serta masyarakat kelas menengah ke bawah selalu menjadi korban dari pembangunan yang rakus ruang dan tidak berkelanjutan," tegasnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Kadiv Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas. Ia menilai, di periode kedua kepemimpinan Eva Dwiana sebagai Wali Kota Bandar Lampung tidak ada perkembangan signifikan.
"Komitmen terhadap pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kini semakin menyusut drastis mengubah wajah Bandar Lampung menjadi kota beton. Gedung-gedung menggantikan hutan-hutan kota, membuat kota besar seperti paru-paru yang sesak, haus akan oksigen segar," jelasnya.
"Minimnya RTH tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga memicu berbagai masalah lingkungan seperti banjir. Padahal, sejak 2007, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30% dari total luas wilayahnya, dengan 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Namun yang terjadi di Bandar Lampung, RTH tidak lebih dari 5%," ungkap Prabowo.
Prabowo berharap di periode kedua kepemimpinan Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana bisa fokus untuk mengatasi permasalahan banjir di Bandar Lampung.
(dai/dai)