Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung mengkritisi vonis ringan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap para terdakwa korupsi timah senilai Rp 300 triliun. Walhi menilai vonis itu terlalu rendah dan tidak sebanding dengan kondisi kerusakan lingkungan.
Direktur Eksekutif Walhi Babel Ahmad Subhan Hafiz mengatakan jika mengacu pada Perma 1/2020, nomenklatur hukum negara justru telah melakukan kategorisasi mengenai hukuman seperti apa yang patut diterima oleh terdakwa kasus korupsi. Sehingga, kata dia, putusan hakim yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus korupsi dinilai tidak adil.
Putusan tersebut, lanjutnya, telah menjelaskan bahwa semua terdakwa terlibat dan memiliki peran masing-masing merugikan keuangan negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Publik mempertanyakan, apa sebenarnya yang menjadi landasan pertimbangan hakim sehingga putusannya demikian?. Padahal secara materiil negara jelas dirugikan, baik sumber daya alamnya seperti Timah, atau beban pemulihan lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial," jelas Direktur Eksekutif Walhi Babel Ahmad Subhan Hafiz kepada detikSumbagsel, Sabtu (4/1/2025).
"Dalam hal ini, Walhi kepulauan Bangka Belitung menilai bahwa kerugian negara akibat rusaknya ekosistem esensial bukan lagi potensial loss, melainkan actual loss karena kerusakannya telah meluas dan pemulihannya dibebankan kepada negara," sambungnya.
Menurutnya, aktivitas industri ekstraktif telah menyebabkan krisis multidimensi di Bangka Belitung, dari kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, hingga krisis ruang hidup. Mega korupsi ini juga menambah catatan buruk tata kelola pemerintahan dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung.
"Putusan hakim membuktikan para terdakwa tersebut bahu membahu melakukan bisnis kotor di industri pertimahan. Ini tidak hanya merugikan negara, tapi juga menyebabkan massifnya kerusakan lingkungan yang berimplikasi pada bencana ekologis di Bangka Belitung," kata Hafiz.
Bagi Walhi, putusan hakim juga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana harapan publik mengenai perintah pemulihan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung, sebagai daerah yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi tersebut.
"Padahal kerugian terbesar dalam kasus tersebut adalah ekologi, sehingga penting untuk hakim memerintahkan tanggungjawab pemulihan lingkungan. Hal tersebut juga fundamental bagi penanganan kasus korupsi tata niaga pertambangan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Serta menjadi yurisprudensi atau landasan putusan hakim ke depannya terhadap kasus serupa," sebutnya.
Lanjutnya, output pasal 18b dari undang-undang (UU) Tipikor yang menyertai kasus tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai skema apa yang akan dilakukan oleh negara dalam memulihkan kerusakan lingkungan. Termasuk pemulihan lanskap adat, ekosistem esensial, dan wilayah kelola rakyat wajib menjadi lokasi prioritas dalam agenda restorasi lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung.
"Skema tanggung jawab pemulihan ekologi di Bangka Belitung harus segera dipastikan. Sehingga agenda negara merampas harta kekayaan terdakwa tidak hanya untuk menimbulkan efek jera, tapi guna menanggulangi kerusakan lingkungan yang menjadi potret besar kerugian akibat praktik koruptif di sektor pertambangan timah," tegasnya.
Berdasarkan catat Walhi, Kepulauan Bangka Belitung telah kehilangan tutupan hutan seluas 30.594 hektar akibat deforestasi dan alih fungsi kawasan hutan. Tak hanya itu, aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan atau di luar telah menyebabkan peningkatan lahan kritis 167.065 hektar pada tahun 2022.
Kemudian, dari 433 DAS di wilayah Babel, 202 DAS diantaranya ada aktivitas pertambangan timah. Terluas terdapat di Kabupaten Belitung Timur yakni 13.140 Ha (data DIKPLHD 2021).
Aktivitas tersebut membuat kerusakan lanskap daratan Bangka Belitung. Dampaknya, kata Walhi, yakni terjadinya sejumlah bencana alam, mulai dari kekeringan, longsor, hingga banjir. Pada 2015, Pulau bangka mengalami kemarau panjang hingga lima bulan (Juni -Oktober).
Setahun kemudian atau pada 2016, banjir besar menerpa Bangka Belitung. Hampir seluruh wilayah di Bangka Belitung terdampak, akses jalan lintas kabupaten terputus, air merendam ratusan bahkan ribuan rumah masyarakat.
"Semuanya diperparah dengan krisis iklim yang semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat global. Khusus di Babel, proses eksploitasi di daratan terutama pertambangan timah telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan bencana serta laju degradasi lingkungan dalam angka yang mengkhawatirkan" ungkap Hafiz.
Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas penambangan timah juga terus memakan korban. Walhi juga mencatat sepanjang 2021-2024, ada 32 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 23 orang mengalami luka-luka.
Tak hanya itu, ribuan lubang tambang yang belum di reklamasi terus memakan korban. Sepanjang tahun 2021- 2024, tercatat ada 30 kasus tenggelam di kolong. Dari 22 korban yang meninggal dunia, 17 diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
"Kerusakan lingkungan pada kantung-kantung habitat buaya muara akibat tambang juga mempertajam konflik antara buaya dan manusia. Selama tiga tahun terakhir ada total 36 serangan buaya. Hal ini menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan 17 orang luka-luka" tutupnya.
(dai/dai)