Pemerintah berwacana agar sekolah diliburkan selama sebulan saat Ramadan. Komisi X DPR pun berpendapat wacana ini perlu dikaji lebih matang karena ada dampak positif dan negatifnya.
Dilansir detikNews, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengusulkan agar rencana ini dirancang secara inklusif. Menurutnya, ada potensi dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan sebelum aturan dijalankan.
Dampak positifnya, siswa muslim akan mendapat ruang untuk fokus beribadah selama bulan Ramadan. Sistem ini sudah diterapkan di pesantren dan rencananya akan diterapkan juga di sekolah-sekolah umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka juga bisa memanfaatkan waktu untuk belajar agama lebih mendalam, mengikuti kegiatan sosial keagamaan di komunitas, atau mempererat hubungan keluarga," jelas Hetifah.
Di sisi lain, libur sebulan selama Ramadan dinilai akan berpengaruh ke kalender pendidikan. Hetifah khawatir apabila tidak ada solusi atas hilangnya waktu belajar ini tanpa kompensasi atau waktu pengganti, maka siswa akan sulit mengejar ketertinggalan.
"Di sisi lain, libur panjang dapat mengganggu kalender pendidikan, terutama dalam menyelesaikan kurikulum yang telah ditetapkan. Jika tidak ada solusi kompensasi yang tepat, seperti perpanjangan jam pelajaran atau tahun ajaran, siswa mungkin akan kesulitan mengejar ketertinggalan," tuturnya.
Hetifah menilai kebijakan ini akan menguntungkan bagi siswa muslim. Namun, siswa nonmuslim tidak akan merasakan manfaatnya secara langsung.
"Siswa non-Muslim mungkin tidak merasakan manfaat langsung, sehingga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap mereka, agar inklusifitas dan kesetaraan dalam sistem pendidikan tetap terjaga. Bagi siswa non-Muslim, libur penuh selama Ramadan bisa menjadi waktu kosong yang tidak produktif, terutama jika mereka tidak memiliki kegiatan alternatif yang dirancang khusus," sambungnya.
Hetifah berharap agar aturan libur sebulan saat Ramadan ini dipertimbangkan secara matang, sehingga tidak ada siswa yang dirugikan.
"Pada dasarnya, kebijakan semacam ini harus dirancang secara inklusif, mempertimbangkan kebutuhan seluruh siswa, dan memastikan bahwa tidak ada kelompok yang merasa diabaikan atau dirugikan," tandasnya.
Wacana ini sendiri mencuat dan menjadi perbincangan yang kemudian direspons oleh Kementerian Agama (Kemenag). Wakil Menag Romo Muhammad Syafi'i mengatakan memang benar sudah ada wacana itu, tetapi belum dibahas secara formal oleh pemerintah.
"Kami belum bahas, tapi wacananya kayaknya ada, tapi saya belum bahas itu," kata Romo, Senin (30/12/2024).
(des/des)