Batas Wilayah Muba-Muratara Kembali Dipersoalkan, Ini Kata Pakar Hukum

Sumatera Selatan

Batas Wilayah Muba-Muratara Kembali Dipersoalkan, Ini Kata Pakar Hukum

A Reiza Pahlevi - detikSumbagsel
Kamis, 17 Okt 2024 13:31 WIB
Diskusi publik membahas persoalan batas wilayah Muba-Muratara.
Foto: Diskusi publik membahas persoalan batas wilayah Muba-Muratara. (A Reiza Pahlevi)
Palembang -

Polemik batas wilayah Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan masih terjadi setelah terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri 76/2014 tentang batas daerah tersebut. Peraturan itu membuat luas wilayah Muba berkurang.

Permendagri itu bahkan dilakukan tiga kali pengujian di Mahkamah Agung (MA), antara lain lewat putusan 82 P/HUM/2014, 3 P/HUM/2015 dan 71 P/HUM/2015. Namun, masalah batas wilayah tak kunjung usai.

Guru Besar Universitas Sriwijaya, Febrian mengatakan, sebelumnya tak ada persoalan terkait batas wilayah pasca pemekaran 2013 melalui UU 16/2013. Namun, konflik timbul setelah keluar Permendagri 76/2014 yang mengatur wilayah Desa Sako Suban berpindah ke Muratara yang dinilai tak sesuai UU 16/2013.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terdapat satu desa yaitu Desa Sako Suban yang sebelumnya berada di wilayah Muba, setelah perubahan Permendagri menjadi bagian dari Muratara," ujarnya saat diskusi publik yang diselenggarakan Kolegium Jurist Institute (KJ Institute), Rabu (16/10/2024).

Dia menyebut perubahan cakupan wilayah terdapat kekeliruan. Pengambilan koordinat seharusnya dari patok batas utama yang telah disepakati bersama sebelumnya.

ADVERTISEMENT

Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibnu Sina Chandranegara menambahkan, perubahan itu tak melibatkan pihak terdampak sehingga tidak adanya kepastian hukum dan tidak melaksanakan asas lex superior derogate legi inferiori.

Ibnu menambahkan, setidaknya terdapat beberapa isu hukum yang diakibatkan dari Permendagri 76/2014. Pertama, perubahan titik koordinat 17-28 dan hilangnya pilar batas utama 01-10 yang berdampak pada berkurangnya wilayah Muba.

"Kedua, penetapan titik koordinat harus mendapatkan persetujuan. Ketiga, usulan perubahan tidak melibatkan pihak terdampak. Keempat, penetapan perubahan dilakukan dalam masa demisioner dan terakhir perubahan berdampak kepada berbagai izin usaha yang telah ada," jelasnya.

Masalah titik koordinat tak hanya menimbulkan masalah di pemerintahan saja tapi juga berdampak luas pada ekonomi dan tata sosial masyarakat.

"Dalam dunia hukum kita mengenal asas in dubio pro lege fori yang mengandung makna bahwa jika hukum dalam suatu perselisihan tidak jelas, maka hukum forum harus diterapkan," jelasnya.

Guru Besar Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aidul Fitriciada Azhari mengungkapkan, ada dugaan pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim (KEPPH) pada perkara batas wilayah Muba-Muratara. Dia menyebut ada asas res judicata pro veritate habetur bahwa putusan hakim dianggap benar selama belum ada putusan lain yang membatalkan.

"Pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim merupakan kemandirian hakim, sehingga tidak menjadi yurisdiksi dari KEPPH. Prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme hanya dapat diperiksa oleh MA atau oleh MA dan Komisi Yudisial (KY) atas usulan KY," jelasnya.

Dia menyebut, potensi pelanggaran KEPPH pada perkara ini pertama dari pertimbangan yuridis dan substansi putusan yang tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan KEPPH. "Ada dua putusan dengan pemohon sama dan pertimbangan sama, tetapi amar putusannya berbeda," katanya.

Aidul juga menyinggung Putusan MA 71 P/HUM/2015 yang menunjukkan pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme.

"Karena seharusnya jika dipertimbangkan secara formil dan tidak mempertimbangkan pokok perkara, maka seharusnya amar putusan tidak diterima," ungkapnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago menambahkan, amar putusan dari ketiga upaya hukum melalui hak uji materiil terkait perkara batas wilayah tak satupun diterima dengan berbagai pertimbangan hukum.

"Putusan MA 3 P/HUM/2015 dan 71 P/HUM/2015 amar putusannya ditolak, lalu Putusan MA 82 P/HUM/2014 amar putusannya tidak diterima," katanya.

Pertimbangan hukum putusan MA 3 P/HUM/2015 disebutnya karena objek hak uji materiil tidak bertentangan dengan idealistik hukum dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebab, komunikasi dilakukan secara intens, sehingga telah dipertimbangkan aspek filosofis, historis, sosiologis dan yuridis.

"Hal tersebut tidak mengandung cacat formal pembentukan maupun substansi muatannya. Lalu alasan-alasan permohonan hak uji materiil tidak beralasan, hanya berasumsi akan menurunkan PAD pemohon, sehingga tidak dapat dibenarkan," katanya.

Sementara Putusan MA 82 P/HUM/2014 katanya, objek HUM yang dimohonkan pemohon sama dengan Putusan MA 3 P/HUM/2015. Amar putusan itu tidak diterima dan putusan bersifat erga omnes sehingga berlaku secara umum.

Sedangkan Putusan MA 71 P/HUM/2015, pertimbangan hukumnya karena yang dimohonkan uji materiil pemohon ternyata sudah pernah diajukan dengan register perkara Nomor 03 P/HUM/2015 (amar putusan menolak permohonan hak uji materiil pemohon) sehingga permohonan pemohon tidak beralasan dan ditolak.

"Melihat ketiga putusan perkara batas wilayah seyogyanya mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Kami berharap hasil diskusi ini memberikan dampak positif bagi keamanan di wilayah kerja masing-masing," tukasnya.




(dai/dai)


Hide Ads