Sumatera Selatan belum bisa terbebas dari ancaman bahaya perubahan iklim. Banjir, longsor dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) serta bencana lainnya masih menghantui Sumsel. Peran perempuan terhadap isu perubahan iklim dituntut maksimal dalam mengantisipasinya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel, Fitriana mengungkapkan, isu perubahan iklim sudah menjadi perhatian di tingkat global, termasuk Indonesia. Dampak perubahan dirasakan dalam jangka pendek dan panjang. Seperti terjadinya longsor, banjir, badai, kemarau, dan perubahan suhu yang cukup ekstrem serta degradasi lingkungan.
"Perempuan dan anak lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Situasi sulit terjadi di wilayah pedesaan di mana mereka tergantung dengan sumber daya alam (SDA). Sulitnya akses air bersih dan lain-lain. Padahal perempuan jadi bagian penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," katanya kegiatan lokakarya penguatan kapasitas pengarusutamaan gender, Rabu (10/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, upaya intervensi adaptasi perubahan iklim harus dilakukan. Mulai dari strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi bahkan sampai pengawasan dan pelaporan seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan.
Sinergi Pemprov Sumsel-Icraf dalam intervensi-mitigasi perubahan iklim serta dampak penghidupan masyarakat secara luas telah dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama tentang bentang lahan berkelanjutan untuk penanganan perubahan iklim, ketahanan pangan dan kesetaraan gender khususnya pada ekosistem gambut.
"Namun, persoalan yang dihadapi adalah minimnya APBD di daerah, komitmen pelaksanaan, belum jalannya Pokja dan sebagainya," jelasnya.
Sementara itu, Andree Ekadinata, Direktur Icraf mengatakan, porsi perempuan kurang dapat tempat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan. Tak hanya di pemerintahan, lembaga, perusahaan tapi juga di rumah tangga. Pikiran perempuan selalu dinomorduakan.
"Sehingga pengarusutamaan gender dalam isu perubahan iklim butuh langkah konkrit bersama. Perubahan iklim sudah jadi kenyataan yang harus dihadapi bersama, bukan lagi isu alam tapi sudah menjadi isu sosial," ujar Andree.
Ia menyebut, keterlibatan perempuan dalam perubahan iklim merupakan langkah efektif dibandingkan upaya dari negara maju melalui teknologi yang diciptakan. Upaya termurah bisa dilakukan dengan mempertahankan bentang lahan berkelanjutan yang ada di sekitar.
"Mempertahankan bentang lahan berkelanjutan di sekitar kita merupakan salah satu upaya. Bentang lahan berkelanjutan dalam pengelolaan perubahan iklim dapat berdampak pada semuanya, tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Sehingga pengarusutamaan gender sebuah keharusan yang mesti diwujudkan," ungkapnya.
Menurutnya, dengan keterlibatan gender maka semua perencanaan, evaluasi, pembangunan dan lainnya dapat berdampak efektif, berkelanjutan dan tepat.
(dai/dai)