Sederet Kritik untuk Putusan MA yang Ubah Syarat Usia Cagub-Cawagub

Nasional

Sederet Kritik untuk Putusan MA yang Ubah Syarat Usia Cagub-Cawagub

Tim detikcom - detikSumbagsel
Sabtu, 01 Jun 2024 13:31 WIB
Update gedung MA, Kamis (7/4/2016).
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengubah syarat usia minimal calon kepala daerah menuai berbagai kritik. Putusan itu ditetapkan berdasarkan gugatan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dkk terhadap pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.

Dilansir detikcom, MA mengabulkan gugatan terkait usia minimal calon kepala daerah tersebut. Penggugat menilai isi pasal itu tidak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon," bunyi pasal tersebut.

Setelah gugatan diproses dan dikabulkan, MA pun memerintahkan KPU untuk mengubah syarat. Minimal usia kini dihitung saat pelantikan calon sebagai kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon.

Hal ini dinilai menguntungkan sejumlah pihak berkepentingan. Gelombang kritik pun bermunculan, baik dari partai politik, pakar, maupun publik.

Perubahan Aturan Seharusnya di DPR, Bukan MA

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai mestinya muatan putusan terkait usia calon kepala daerah itu dibahas di DPR RI dan menjadi produk DPR sebagai legislatif. Bukan malah menjadi produk lembaga yudikatif seperti MA.

"Ya sebenarnya sikap dari rapat kerja nasional kelima PDIP sangat jelas terhadap berbagai kecenderungan untuk menggunakan hukum sebagai alat itu tidak dibenarkan karena fungsi legislasi berada di DPR," terang Hasto dilansir detikcom, Jumat (31/5/2024).

Klausul PKPU yang Semula Sudah Sesuai

Wasekjen Bidang Hukum dan Advokasi DPP PKS Zainudin Paru menyebut perubahan syarat itu justru tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal yang digugat sendiri sudah pernah diubah melalui UU.

"Putusan MA tentang usia calon kepala daerah tidak sesuai UU No. 1 Tahun 2015. Adapun Pasal 4 PKPU/2020 mengacu pada Pasal 7 huruf e UU Nomor 1 Tahun 2015, yang beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 6/2020," kata Zainudin Paru, Jumat (31/5/2024).

Adapun isi pasal dalam UU yang dimaksud berbunyi: e. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota.

Zainudin menegaskan bahwa tafsir PKPU terhadap klausul usia calon kepala daerah sudah sesuai, yakni sejak yang bersangkutan berstatus calon. Sementara ketika dilantik, maka yang bersangkutan bukan lagi calon.

"Menilik Pasal 7 huruf e UU No.1 Tahun 2015, tafsir PKPU terhadap klausul sudah sesuai. Karena syarat usia terhitung sejak seseorang sebagai calon kepala daerah," tambahnya.

Dugaan Mengakali Aturan

Sementara itu, Ketua DPP Partai NasDem Sugeng Suparwoto berharap putusan MA tidak dimanfaatkan untuk memuluskan karier politik seseorang atau kelompok tertentu. Dia bahkan menyinggung adanya kemungkinkan mengakali aturan.

"Menurut kita, nggak usahlah saling semuanya 'mengakali atuaran'," tegas Sugeng di NasDem Tower, Kamis (30/5/2024).

Sugeng membandingkannya dengan proses yang terjadi menjelang Pilpres 2024. Saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengabulkan gugatan uji materi untuk usia calon presiden dan wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Hal itu membuat Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi cawapres di usia 36 tahun.

"Cukuplah sekali yang kemarin, cukup. Itu mahal betul biaya psychological social-nya," sambungnya.

Senada, Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara se-Indonesia (AMHTN-SI) menilai putusan MA itu bermasalah dan sarat kepentingan politik. Koordinator Kajian Strategis dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI Fahrur Rozi menyebut perubahan syarat usia cakada ini sebagai bentuk rekayasa konstitusional yang sistematis.

"Ini kedua kalinya rekayasa semacam ini menggejala dalam sistem pengadilan setelah putusan 90/PUU-XXI/2024 kemarin, rekayasanya sangat mirip dengan tragedi putusan yang terjadi di MK," ujarnya.

Tak Ada Isu Konstitusional yang Mendesak Perubahan Syarat

Lebih lanjut, Rozi menilai ada dua persoalan dalam putusan MA tersebut. Pertama, tidak ada isu konstitusional materiil pasal yang digugat di PKPU. Dia pun menyebut seharusnya perubahan ini ditolak karena tidak ada alasan hukum yang jelas untuk mengubahnya.

"Ini harusnya ditolak dan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, mengingat norma substantifnya tidak memiliki isu konstitusional di dalamnya," paparnya.

Kedua, perubahan ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Waktu pelantikan yang menjadi patokan baru untuk menentukan usia calon kepala daerah bersifat tidak pasti karena menyesuaikan dengan jadwal Presiden.




(des/des)


Hide Ads