22 Puisi Hari Ibu Penuh Makna, Ungkapan Sayang dari Anak

Sumatera Selatan

22 Puisi Hari Ibu Penuh Makna, Ungkapan Sayang dari Anak

Melati Putri Arsika - detikSumbagsel
Sabtu, 16 Des 2023 05:04 WIB
Kumpulan ucapan Hari Ibu dalam bahasa Inggris dan artinya
Foto: Getty Images/Sviatlana Barchan
Palembang -

Momen spesial Hari Ibu bisa dirayakan dengan memberikan puisi yang penuh makna. Rangkaian kata dari puisi mewakilkan ungkapan rasa sayang dari anak kepada ibunya.

Berdasarkan buku Puisi dan Bulu Kuduk karya Acep Zamzam Noor, puisi merupakan luapan perasaan yang bersifat imajinatif dan diungkapkan secara nyata dan artistik. Secara sederhana, puisi ini seni dalam berkata-kata.

Untuk bisa mengungkapkan perasaan di Hari Ibu, detikers bisa memilih beberapa contoh puisi yang dirangkum detikSumbagsel di bawah ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

22 Puisi Ibu untuk Hari Ibu 22 Desember

1. Ibu (H Mustofa Bisri)

Kaulah gua teduh

tempatku bertapa bersamamu sekian lama

ADVERTISEMENT

Kaulah Kawah darimana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku

melepas lelah dan nestapa

Gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam

mata air yang tak berhenti mengalir membasahi dahagaku

telaga tempatku bermain berenang dan menyalam

Kaulah Ibu, laut dan langit yang menjaga lurus horisonku

Kaulah ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku

mencari jejak sorga di telapak kakimu

(Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanat-Mu

menyampaikan kasih sayang-Mu

Maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih-Mu Amin)

2. Ibu (Chairil Anwar)

Pernah aku ditegur

Katanya untuk kebaikan

Pernah aku dimarah

Katanya membaiki kelemahan

Pernah aku diminta membantu

Katanya supaya aku pandai

Ibu.....

Pernah aku merajuk

Katanya aku manja

Pernah aku melawan

Katanya aku degil

Pernah aku menangis

Katanya aku lemah

Ibu.....

Setiap kali aku tersilap

Dia hukum aku dengan nasihat

Setiap kali aku kecewa

Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat

Setiap kali aku dalam kesakitan

Dia ubati dengan penawar dan semangat

Dan Bila aku mencapai kejayaan

Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun.....

Tidak pernah aku lihat air mata dukamu

Mengalir di pipimu

Begitu kuatnya dirimu....

Ibu....

Aku sayang padamu.....Tuhanku....Aku bermohon padaMu

Sejahterakanlah dia

Selamanya.....

3. Bunda Air Mata (Emha Ainun Najib)

Kalau engkau menangis

Ibundamu yang meneteskan air mata

Dan Tuhan yang akan mengusapnya

Kalau engkau bersedih

Ibundamu yang kesakitan

Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan

Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu

Dan jangan bikin satu kalipun untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu

Kalau Ibundamu menangis,

para malaikat menjelma butiran-butiran air matanya

Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda

membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu

Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci

sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu

4. Jendela (Joko Pinurbo)

Di jendela tercinta ia duduk-duduk bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.

Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi

dan setiap mereka ayunkan kaki

tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang, melihat bulan menggelinding di gigir tebing,

meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr....

Sesaat mereka membisu.

Gigil malam mencengkeram bahu.

"Rasanya pernah kudengar suara byuuurrr dalam tidurmu yang pasrah, Bu."

"Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,"

timpal si ibu sembari memungut sehelai angin

yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.

Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.

Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

"Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa bersama."

"Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan? Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma."

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang dan membiarkan jendela tetap terbuka.

Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam, menerangi tidur mereka yang bersahaja

seperti doa yang tak banyak meminta.

5. Ibuku Dehulu (Amir Hamzah)

Ibuku dehulu marah padaku

diam ia tiada berkata akupun lalu merajuk pilu

tiada peduli apa terjadi matanya terus mengawas daku

walaupun bibirnya tiada bergerak mukanya masam menahan sedan

hatinya pedih kerana lakuku

Terus aku berkesal hati

menurutkan setan, mengkacau-balau

jurang celaka terpandang di muka

kusongsong juga - biar cedera

Bangkit ibu dipegangnya aku

dirangkumnya segera dikecupnya serta dahiku berapi pancaran neraka

sejuk sentosa turun ke kalbu

Demikian engkau;

ibu, bapa, kekasih pula berpadu satu dalam dirimu

mengawas daku dalam dunia.

6. Ibu (D Zawawi Imron)

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

hanya mataair airmatamu Ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau

sedap susumu dan ronta kenakalanku

di hati ada mayan siwalan memutikkan sari-sari kerinduan

lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyerembak bau sayang

Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

Aku menangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera

sempit lautan teduh

tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Kalau aku ikut ujian lalu di tanya tentang pahlawan namamu, Ibu,

yang kusebut paling dahulu

Engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

Sesekali datang padaku

Menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku.

7. Dari Ibu Seorang Demonstran (Taufik Ismail)

"Ibu telah merelakan kalian

Untuk berangkat demonstrasi

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada

atau gas airmata

Tapi lansung peluru tajam

Tapi itulah yang dihadapi

Ayah kalian almarhum

Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi

Setelah dahi dan pipi kalian

Ibu ciumi

Mungkin ini pelukan penghabisan

(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi

Jika logam itu memang memuat nama kalian

(Ibu itu tersedu sedan)

Ibu relakan

Tapi jangan di saat terakhir

Kau teriakkan kebencian

Atau dendam kesumat pada seseorang

Walaupun betapa zalimnya orang itu

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah

Di atas bumi kita ini

Sebelum kalian melangkah setiap pagi

Sunyi kalian setiap pagi

Sunyi dari dendam dan kebencian

Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan

Serta rasul kita yang tercinta

Pergilah pergi

Iwan, Ida dan Hadi

Pergilah pergi

Pagi ini

(Mereka telah berpamitan dengan Ibu dicinta

Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka

Dan berangkatlah mereka bertiga

Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

8. Lautan Cinta (Chairil Anwar)

Ibu

Engkau lautan

Yang tiada bertepi

Yang tiada bertepian

Engkau lautan

Yang tiada berombak

Yang tiada berombakan

Engkau lautan

Yang tiada berpasir

Yang tiada berpasiran

Engkau lautan

Yang tiada berkarang

Yang tiada berkarangan

Engkau lautan

Yang tiada berhenti

Yang tiada berhentian

9. Doa Anak (WS Rendra)

Ya Tuhan, berkatilah ibuku.

Dia telah melahirkan aku,

mengasuh aku, mendidik aku,

dan menyayangi aku.

Ya Tuhan, lindungilah ibuku.

Dia telah bekerja keras,

berkorban banyak, berjuang gigih,

dan bertahan teguh.

Ya Tuhan, bahagiakanlah ibuku.

Dia telah memberikan aku kehidupan,

kecerdasan, kebaikan, dan keindahan.

Ya Tuhan, terimalah ibuku.

Dia telah menunaikan tugasnya,

menyempurnakan cintanya,

menyucikan jiwanya,

dan mendekatkan dirinya kepada-Mu.

10. Rumah Hati (M Aan Mansyur)

Ibu adalah rumah.

Di dalamnya kita berteduh.

Di dalamnya kita berlindung.

Di dalamnya kita beristirahat.

Ibu adalah rumah.

Di dalamnya kita belajar.

Di dalamnya kita berkembang.

Di dalamnya kita berkreasi.

Ibu adalah rumah.

Di dalamnya kita bercanda.

Di dalamnya kita bersenda.

Di dalamnya kita bersuka.

Ibu adalah rumah.

Di dalamnya kita berdoa.

Di dalamnya kita bersyukur.

Di dalamnya kita beribadah.

Ibu adalah rumah.

Di dalamnya kita ada.

Di dalamnya kita hidup.

Di dalamnya kita bahagia.

11. Satu Kata (Sapardi Djoko Damono)

Hanya satu kata yang selalu kuingat

yang selalu kusebut

ketika hati terasa pilu:

Ibu

Hanya satu kata

yang selalu kurindu

yang selalu kucari

ketika jiwaku merana:

Ibu

Hanya satu kata

yang selalu kuhormati

yang selalu kusyukuri

ketika hidupku bahagia:

Ibu

12. Jangan Takut Ibu (WS Rendra)

Matahari musti terbit.

Matahari musti terbenam.

Melewati hari-hari yang fana

Ada kanker payudara, ada encok,

dan ada uban.

Ada Gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,

Bupati mengunyah aspal,

Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.

Jangan takut, Ibu !

Kita harus bertahan.

Karena ketakutan

meningkatkan penindasan.

Manusia musti lahir.

Manusia musti mati.

Di antara kelahiran dan kematian

bom atom di jatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,

serdadu-serdadu Jepaang memenggal kepala patriot-patriot Asia,

Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,

Teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma

Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,

di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,

serdadu inggris membantai para pemuda di Irlandia,

orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman

Jangan takut, Ibu !

Jangan mau digertak

Jangan mau di ancam

Karena ketakutan meningkatkan penjajahan

Sungai waktu

menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang merangas.

Keringat bumi yang menyangga peradaban insan

menjadi uranium dan mercury.

Tetapi jangan takut, Ibu

Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati

Rasi Bima Sakti berzikir di dahi

Aku cium tanganmu, Ibu !

Rahim dam susumu adalahpersemaian harapan

Kekuatan ajaib insan

Dari Zaman ke Zaman

13. Ibu (Rahmadani Dewi S)

tapi...

apa kabar

sajakah baik-baik kau

tentu sehat slalu

ibu...

jeritku, tangisku, rintihku

terhapus mendengar kata ibu...

ibu...

kau lelah demiku

kau membuang semua tenagamu

demi aku

ibu...

kau bagaikan sehelai kapas

yang mampu membawa aku

terbang dengan tenang

ibu...

aku beruntung memilikimu

terima kasihku kuucapkan

air mata menitik di pipiku

14. Surat Untuk Ibu (Joko Pinurbo)

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.

Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya

yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo

sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?

Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang

makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja

bentrok dengannya gara-gara urusan politik

dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah

kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit

yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan

keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.

Sudah beberapa kali saya mencoba meralat

nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi

kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit

atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu

berdentang nyaring dan malam damaimu

diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

15. Sajak Ibu (Wiji Thukul)

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah

tetapi menangis ketika aku susah

ibu tak bisa memejamkan mata

bila adikku tak bisa tidur karena lapar

ibu akan marah besar

bila kami merebut jatah makan

yang bukan hak kami

ibuku memberi pelajaran keadilan

dengan kasih sayang

ketabahan ibuku

mengubah rasa sayur murah

jadi sedap

ibu menangis ketika aku mendapat susah

ibu menangis ketika aku bahagia

ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda

ibu menangis ketika adikku keluar penjara

ibu adalah hati yang rela menerima

selalu disakiti oleh anak-anaknya

penuh maaf dan ampun

kasih sayang ibu

adalah kilau sinar kegaiban tuhan

membangkitkan haru insan

dengan kebajikan

ibu mengenalkan aku kepada tuhan

16. Sajak Ibunda (WS Rendra)

Mengenangkan ibu

adalah mengenangkan buah-buahan.

Istri adalah makanan utama.

Pacar adalah lauk-pauk.

Dan Ibu

adalah pelengkap sempurna

kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senja kala.

Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.

Suaranya menjadi gema

dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu

aku melihat janji baik kehidupan.

Mendengar suara ibu,

aku percaya akan kebaikan manusia.

Melihat foto ibu,

aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,

aku pun ingat kamu juga punya ibu.

Aku jabat tanganmu,

aku peluk kamu di dalam persahabatan.

kita tidak ingin saling menyakitkan hati,

agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing

yang selalu, bagai bumi, air dan langit,

membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.

Demikian pula koruptor, tiran, fasis,

wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,

mereka pun punya ibu.

Macam manakah ibu mereka?

Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?

Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:

"Ibu aku telah menjadi antek modal asing;

yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi

kemelaratan rakyat,

lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,

sementara orang desa yang tanpa tanah

jumlahnya melimpah.

Kini aku kaya.

Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung

bakal kuburanmu nanti."

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.

Tetapi lalu bagaimana sang anak

akan menerangkan kepada ibunya

tentang kedudukannya sebagai

tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?

Apakah sang tiran akan menyebut dirinya

sebagai pemimpin revolusi?

Koruptor dan antek modal asing akan

menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?

Dan hama hutan serta tikus sawah akan

menganggap dirinya sebagai petani teladan?

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?

Mungkinkah seorang ibu akan berkata:

"Nak, jangan lupa bawa jaketmu.

Jagalah dadamu terhadap hawa malam.

Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.

O, ya, kalau nanti dapat amplop,

tolong belikan aku udang goreng."

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.

Kamu adalah tugu kehidupanku,

yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.

Kamu adalah Indonesia Raya.

Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.

Kamu adalah hutan di sekitar telaga.

Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.

Kamu adalah kidung rakyat jelata.

Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

17. Mata Ibu (Tjahjono Widarmanto)

di matamu ibu, seribu tahun mengekal jadi satu

kupu-kupu mengembangkan sayapnya tanpa harus jadi kepompong

bersama belalang terbang berputar berpacu di segala taman,

halaman, dan pohon-pohon

dibawanya segenap rimbunan kenangan

rindu yang menyala di sepanjang jalan

di matamu ibu, segala isyarat dan tanda-tanda tertinggal

seperti kitab yang terbuka tempat segala peta dan segenap warna-warna

danau dan sungai tempat ikan-ikan membiakkan harapan

tempat segala sunyi ditandai

dan di sana pula, di balik matamu:

Tuhan begitu memesona

18. Mata Ibu (2) (Tjahjono Widarmanto)

di bola matamu itu, ibu

kubaca peta-peta, seluruh pesisir,

beribu laut bergelora, benua-benua baru,

dan hamparan jazirah-jazirah hijau

yang kelak melambai untuk kujelajahi

di bola matamu itu, ibu

kukenal bendera warna-warni

ingatkanku pada keagungan kakek-kakek kita

akan kujelajahi peta itu, ibu

akan kuseberangi gelora laut,

akan kutemukan benua-benua baru itu,

dan di sepanjang jazirahnya akan kupancangkan bendera

kukibarkan kembali segala kegagahan nenek moyang

ibu, di bola matamu itu

menyimpan gairah semangat kebangkitan baru

19. Mata Ibu (3) (Tjahjono Widarmanto)

di kedalaman bola matamu

bulan dan bintang bersemayam

mengajakku berbincang tentang

cinta, rindu dan tuhan

dari kedalaman bola matamu itu

kujenguk sumur teka-teki

kalimat-kalimat rindu sebuah sujud

yang menjadi bait-bait puisi tafakur cinta pada tuhannya

bola matamu itu, ibu

muara segala kalimat cinta

kalimat ruh yang rindu pada Nur:

dan segala nur itu berbilik di kedua bola matamu!

20. Aku Memanggil Namamu (Dimas Arika Mihardja)

Setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu:

Ibu Bagaimana bisa aku, bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta?

Ibu, Jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang

Kupanggil sepenuh sepenuh gigil hanya namamu. Saat sampan dan perahu melaju

Di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagai sampan

Bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar.

Jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran

Rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap di dadamu

Deru lalu lintas jalanan, rambu-rambu dan simpang

Lampu adalah nasihat yang selalu mengobarkan semangat berjihad.

Aku memanggil namamu, Ibu

Sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh

Aku memanggul namamu, Ibu

Sebab segala lagu, sebab segala lugu mengombak di bibirmu

Aku selalu memanggil dan memanggul namamu:

Ibu!

21. Ode Buat Ibu (Aspar Paturusi)

perempuan adalah ibu

di hatinya ada mata air

mengalirkan kasih sayang

perempuan adalah lilin kehidupan

di matanya ada cahaya

menyorotkan cinta

perempuan adalah gunung

tegak menjulang

menyiratkan ketabahan

dengan tangis ia menyapa bulan

dengan senyum ia menatap matahari

dengan cinta ia memetik bunga-bunga

dengan rindu ia melagukan kenangan

dengan tabah ia menunggu

ibu, di antara hamparan mutiara

engkau adalah mutiara paling kemilau

ibu, di tengah kelap-kelip cahaya

engkau membawa sinar lebih terang

ibu, bila ada badai dan gelombang

engkau suguhkan teduh dan tenteram

ibu, bila tanda jasa harus disematkan

engkau patut menerimanya

ibu, begitu banyak sudah pahlawan bangsa

bagi kami, engkau adalah pahlawan sejati

22. Ingat Ibu (Kurniawan Junaedhie)

Aku ingin pergi jauh, kataku pada ibu. Aku menoleh jauh ke luar jendela. Langit basah berembun. Daun dan ranting lunglai di bingkai kusen.

Ibu -di dalam kubur- memelukku, mengelus rambutku, dan berkata, "Rumahmu di dalam perutku. Kemana kamu akan pergi?"

Aku peluk perut ibu. Aku mendengar detak jantung di dalam perut ibu. Aku mendengar suara di perut ibu. "Anakku...." Suara itu bertalu-talu.

Aku merasa ngilu. Ibu terus memelukku, dan mengelus rambutku. Aku menoleh jauh ke luar jendela. Embun berkerumun jadi kabut. Hatiku ngelangut. Ingat kata-kata Ibu. Ingat perut ibu. Ibu yang terus hidup dalam pikiran dan perasaanku.

Demikianlah 22 contoh puisi Hari Ibu yang penuh makna dan menyentuh. Cocok dibagikan ketika detikers ingin memberikannya kepada sang ibu. Semoga bermanfaat ya.




(dai/des)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads