Momen spesial Hari Ibu bisa dirayakan dengan memberikan puisi yang penuh makna. Rangkaian kata dari puisi mewakilkan ungkapan rasa sayang dari anak kepada ibunya.
Berdasarkan buku Puisi dan Bulu Kuduk karya Acep Zamzam Noor, puisi merupakan luapan perasaan yang bersifat imajinatif dan diungkapkan secara nyata dan artistik. Secara sederhana, puisi ini seni dalam berkata-kata.
Untuk bisa mengungkapkan perasaan di Hari Ibu, detikers bisa memilih beberapa contoh puisi yang dirangkum detikSumbagsel di bawah ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
22 Puisi Ibu untuk Hari Ibu 22 Desember
1. Ibu (H Mustofa Bisri)
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu sekian lama
Kaulah Kawah darimana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
Gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam
mata air yang tak berhenti mengalir membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain berenang dan menyalam
Kaulah Ibu, laut dan langit yang menjaga lurus horisonku
Kaulah ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga di telapak kakimu
(Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanat-Mu
menyampaikan kasih sayang-Mu
Maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih-Mu Amin)
2. Ibu (Chairil Anwar)
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu.....
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu.....
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun.....
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu....
Ibu....
Aku sayang padamu.....Tuhanku....Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya.....
3. Bunda Air Mata (Emha Ainun Najib)
Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih
Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau Ibundamu menangis,
para malaikat menjelma butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci
sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu
4. Jendela (Joko Pinurbo)
Di jendela tercinta ia duduk-duduk bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.
Mereka memandang takjub ke seberang, melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr....
Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
"Rasanya pernah kudengar suara byuuurrr dalam tidurmu yang pasrah, Bu."
"Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,"
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.
Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
"Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa bersama."
"Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan? Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma."
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam, menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.
5. Ibuku Dehulu (Amir Hamzah)
Ibuku dehulu marah padaku
diam ia tiada berkata akupun lalu merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi matanya terus mengawas daku
walaupun bibirnya tiada bergerak mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku
Terus aku berkesal hati
menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong juga - biar cedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
dirangkumnya segera dikecupnya serta dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula berpadu satu dalam dirimu
mengawas daku dalam dunia.
6. Ibu (D Zawawi Imron)
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu Ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
sedap susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayan siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyerembak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku menangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu di tanya tentang pahlawan namamu, Ibu,
yang kusebut paling dahulu
Engkau ibu dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku.
7. Dari Ibu Seorang Demonstran (Taufik Ismail)
"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
atau gas airmata
Tapi lansung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi kalian setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan Ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)
8. Lautan Cinta (Chairil Anwar)
Ibu
Engkau lautan
Yang tiada bertepi
Yang tiada bertepian
Engkau lautan
Yang tiada berombak
Yang tiada berombakan
Engkau lautan
Yang tiada berpasir
Yang tiada berpasiran
Engkau lautan
Yang tiada berkarang
Yang tiada berkarangan
Engkau lautan
Yang tiada berhenti
Yang tiada berhentian
9. Doa Anak (WS Rendra)
Ya Tuhan, berkatilah ibuku.
Dia telah melahirkan aku,
mengasuh aku, mendidik aku,
dan menyayangi aku.
Ya Tuhan, lindungilah ibuku.
Dia telah bekerja keras,
berkorban banyak, berjuang gigih,
dan bertahan teguh.
Ya Tuhan, bahagiakanlah ibuku.
Dia telah memberikan aku kehidupan,
kecerdasan, kebaikan, dan keindahan.
Ya Tuhan, terimalah ibuku.
Dia telah menunaikan tugasnya,
menyempurnakan cintanya,
menyucikan jiwanya,
dan mendekatkan dirinya kepada-Mu.
10. Rumah Hati (M Aan Mansyur)
Ibu adalah rumah.
Di dalamnya kita berteduh.
Di dalamnya kita berlindung.
Di dalamnya kita beristirahat.
Ibu adalah rumah.
Di dalamnya kita belajar.
Di dalamnya kita berkembang.
Di dalamnya kita berkreasi.
Ibu adalah rumah.
Di dalamnya kita bercanda.
Di dalamnya kita bersenda.
Di dalamnya kita bersuka.
Ibu adalah rumah.
Di dalamnya kita berdoa.
Di dalamnya kita bersyukur.
Di dalamnya kita beribadah.
Ibu adalah rumah.
Di dalamnya kita ada.
Di dalamnya kita hidup.
Di dalamnya kita bahagia.
11. Satu Kata (Sapardi Djoko Damono)
Hanya satu kata yang selalu kuingat
yang selalu kusebut
ketika hati terasa pilu:
Ibu
Hanya satu kata
yang selalu kurindu
yang selalu kucari
ketika jiwaku merana:
Ibu
Hanya satu kata
yang selalu kuhormati
yang selalu kusyukuri
ketika hidupku bahagia:
Ibu
12. Jangan Takut Ibu (WS Rendra)
Matahari musti terbit.
Matahari musti terbenam.
Melewati hari-hari yang fana
Ada kanker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada Gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu !
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
meningkatkan penindasan.
Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom di jatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepaang memenggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,
Teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma
Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,
di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
serdadu inggris membantai para pemuda di Irlandia,
orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman
Jangan takut, Ibu !
Jangan mau digertak
Jangan mau di ancam
Karena ketakutan meningkatkan penjajahan
Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang merangas.
Keringat bumi yang menyangga peradaban insan
menjadi uranium dan mercury.
Tetapi jangan takut, Ibu
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi
Aku cium tanganmu, Ibu !
Rahim dam susumu adalahpersemaian harapan
Kekuatan ajaib insan
Dari Zaman ke Zaman
13. Ibu (Rahmadani Dewi S)
tapi...
apa kabar
sajakah baik-baik kau
tentu sehat slalu
ibu...
jeritku, tangisku, rintihku
terhapus mendengar kata ibu...
ibu...
kau lelah demiku
kau membuang semua tenagamu
demi aku
ibu...
kau bagaikan sehelai kapas
yang mampu membawa aku
terbang dengan tenang
ibu...
aku beruntung memilikimu
terima kasihku kuucapkan
air mata menitik di pipiku
14. Surat Untuk Ibu (Joko Pinurbo)
Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.
Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.
15. Sajak Ibu (Wiji Thukul)
ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap
ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara
ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan
dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada tuhan
16. Sajak Ibunda (WS Rendra)
Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
"Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti."
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
"Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng."
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.
17. Mata Ibu (Tjahjono Widarmanto)
di matamu ibu, seribu tahun mengekal jadi satu
kupu-kupu mengembangkan sayapnya tanpa harus jadi kepompong
bersama belalang terbang berputar berpacu di segala taman,
halaman, dan pohon-pohon
dibawanya segenap rimbunan kenangan
rindu yang menyala di sepanjang jalan
di matamu ibu, segala isyarat dan tanda-tanda tertinggal
seperti kitab yang terbuka tempat segala peta dan segenap warna-warna
danau dan sungai tempat ikan-ikan membiakkan harapan
tempat segala sunyi ditandai
dan di sana pula, di balik matamu:
Tuhan begitu memesona
18. Mata Ibu (2) (Tjahjono Widarmanto)
di bola matamu itu, ibu
kubaca peta-peta, seluruh pesisir,
beribu laut bergelora, benua-benua baru,
dan hamparan jazirah-jazirah hijau
yang kelak melambai untuk kujelajahi
di bola matamu itu, ibu
kukenal bendera warna-warni
ingatkanku pada keagungan kakek-kakek kita
akan kujelajahi peta itu, ibu
akan kuseberangi gelora laut,
akan kutemukan benua-benua baru itu,
dan di sepanjang jazirahnya akan kupancangkan bendera
kukibarkan kembali segala kegagahan nenek moyang
ibu, di bola matamu itu
menyimpan gairah semangat kebangkitan baru
19. Mata Ibu (3) (Tjahjono Widarmanto)
di kedalaman bola matamu
bulan dan bintang bersemayam
mengajakku berbincang tentang
cinta, rindu dan tuhan
dari kedalaman bola matamu itu
kujenguk sumur teka-teki
kalimat-kalimat rindu sebuah sujud
yang menjadi bait-bait puisi tafakur cinta pada tuhannya
bola matamu itu, ibu
muara segala kalimat cinta
kalimat ruh yang rindu pada Nur:
dan segala nur itu berbilik di kedua bola matamu!
20. Aku Memanggil Namamu (Dimas Arika Mihardja)
Setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu:
Ibu Bagaimana bisa aku, bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta?
Ibu, Jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang
Kupanggil sepenuh sepenuh gigil hanya namamu. Saat sampan dan perahu melaju
Di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagai sampan
Bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar.
Jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran
Rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap di dadamu
Deru lalu lintas jalanan, rambu-rambu dan simpang
Lampu adalah nasihat yang selalu mengobarkan semangat berjihad.
Aku memanggil namamu, Ibu
Sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh
Aku memanggul namamu, Ibu
Sebab segala lagu, sebab segala lugu mengombak di bibirmu
Aku selalu memanggil dan memanggul namamu:
Ibu!
21. Ode Buat Ibu (Aspar Paturusi)
perempuan adalah ibu
di hatinya ada mata air
mengalirkan kasih sayang
perempuan adalah lilin kehidupan
di matanya ada cahaya
menyorotkan cinta
perempuan adalah gunung
tegak menjulang
menyiratkan ketabahan
dengan tangis ia menyapa bulan
dengan senyum ia menatap matahari
dengan cinta ia memetik bunga-bunga
dengan rindu ia melagukan kenangan
dengan tabah ia menunggu
ibu, di antara hamparan mutiara
engkau adalah mutiara paling kemilau
ibu, di tengah kelap-kelip cahaya
engkau membawa sinar lebih terang
ibu, bila ada badai dan gelombang
engkau suguhkan teduh dan tenteram
ibu, bila tanda jasa harus disematkan
engkau patut menerimanya
ibu, begitu banyak sudah pahlawan bangsa
bagi kami, engkau adalah pahlawan sejati
22. Ingat Ibu (Kurniawan Junaedhie)
Aku ingin pergi jauh, kataku pada ibu. Aku menoleh jauh ke luar jendela. Langit basah berembun. Daun dan ranting lunglai di bingkai kusen.
Ibu -di dalam kubur- memelukku, mengelus rambutku, dan berkata, "Rumahmu di dalam perutku. Kemana kamu akan pergi?"
Aku peluk perut ibu. Aku mendengar detak jantung di dalam perut ibu. Aku mendengar suara di perut ibu. "Anakku...." Suara itu bertalu-talu.
Aku merasa ngilu. Ibu terus memelukku, dan mengelus rambutku. Aku menoleh jauh ke luar jendela. Embun berkerumun jadi kabut. Hatiku ngelangut. Ingat kata-kata Ibu. Ingat perut ibu. Ibu yang terus hidup dalam pikiran dan perasaanku.
Demikianlah 22 contoh puisi Hari Ibu yang penuh makna dan menyentuh. Cocok dibagikan ketika detikers ingin memberikannya kepada sang ibu. Semoga bermanfaat ya.
(dai/des)