Makam panglima perang Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah di Kota Bengkulu, direvitalisasi Polresta Bengkulu agar memiliki daya tarik sebagai objek wisata religi.
Hal ini dilakukan sekaligus untuk mengenang jasa pahlawan serta ikut melestarikan cagar budaya. Selain melakukan revitalisasi makam, juga dibuat gerai bagi pelaku usaha UMKM di lokasi makam.
Kapolresta Bengkulu Kombes Pol Aris Sulistyono mengatakan, revitalisasi makam bersejarah ini dilakukan agar bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata religi, sekaligus ikut mengenang jasa pahlawan Sentot AliBasyah yang merupakan panglima perang Pengeran Diponegoro yang diasingkan penjajah ke Bengkulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tidak boleh melupakan jasa para pahlawan yang dulu pernah membela tanah air dari penjajah, termasuk panglima Sentot Alibasyah ini, untuk itulah makamnya kita sulap menjadi salah satu obyek wisata sejarah religi," kata Aris, Jumat (30/6/2023).
Aris menjelaskan, hari ini makam Sentot Alibasyah sudah menjadi lokasi wisata religi di Kota Bengkulu, dan telah bisa dikunjungi wisatawan untuk berziarah atau mengetahui sejarah Panglima Perang Sentot Ali Basyah.
"Makam Sentot Alibasyah menjadi lokasi wisata religi, semoga dengan diresmikannya tempat ini bisa menjadi lokasi wisata yang banyak diminati wisatawan sehingga juga mampu membangkitkan ekonomi warga di sekitar makam," jelas Aris.
Aris mengungkapkan, selain mempercantik lokasi makam, di depan makam juga disediakan gerai bagi para pelaku UMKM yang menjual berbagai jenis makanan dan minuman yang dapat dinikmati para pengunjung makam Sentot Alibasyah.
Sejarah Singkat Sentot Alibasyah
Sentot Alibasyah Prawirodirajo merupakan salah seorang panglima kavaleri Pangeran Diponegoro yang paling hebat selama Perang Jawa (Java Oorlog). Pada awal meletusnya Perang Jawa 1825, Sentot masih berusia 17 tahun dan dipercaya memimpin pasukan berkuda berjumlah 400 orang, dan memiliki keahlian berkuda ala "Mataraman" yaitu kedua lutut kaki menjepit badan kuda sehingga kedua tangannya bebas memainkan senjata seperti memanah, melempar tombak dan menembak dengan senapan.
Pada tahun 1826 di Dekso, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucokro Amirulmuk minin Sayidin Panotogomo Kalifah Rasulallah Ing Tanah Jawi. Pangeran Diponegoro melakukan pembenahan sistem pengikutnya dengan mengadopsi model pemerintahan dan militer ala Kekaisaran Ottoman Turki. Pangeran Diponegoro kagum dengan Kekaisaran Ottoman sebagai benteng pertahanan kekuatan Islam di Timur Tengah dan pelindung potensial terhadap ekspansi kekuatan dari Eropa. Pada masa ini pula kemudian Sentot diangkat menjadi pemimpin pasukan berkuda yang ditambah dari semula 400 orang menjadi 1000 orang.
Sentot memasuki usia 20 tahun sudah tampil sebagai panglima militer dan ahli starategi Pangeran Diponegoro dengan menunjukkan kepiawaian. Sentot beberapa meraih kemenangan gemilang, salah satunya dengan menghancurkan Pasukan Gerak Cepat ke-8 pimpinan Mayor H.P. Buschkens di Kroya, Bagelen Timur, pada awal Oktober 1828. Pada Desember 1828, Sentot meminta agar diberi kuasa untuk memimpin seluruh kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro di medan tempur, sekaligus diizinkan untuk menarik pajak secara langsung, yang berarti mengabaikan pemerintahan patih.
Satu satunya, panglima perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan hanyalah Sentot. Tetapi sebenarnya kondisi pasukan
Sentot sendiri mengkhawatirkan, kekurangan bahan makanan dan logistik perang. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun yang bernama Prawirodiningrat (kakak Sentot) Belanda baru dapat berunding dengan Sentot. Hasil dari perundingan Sentot dan pasukan Panilih berhasil dibujuk dengan syarat diberi uang 10.000 ringgit dan tetap memimpin pasukan Panilih berjumlah 1000 orang yang dipersenjatai dengan 500 pucuk senapan. Sentot dan pasukannya tetap memeluk Agama Islam dengan tetap menggunakan sorban serta diizinkan tidak minum minuman memabukkan dalam acara perjamuan yang diselenggarakan oleh Belanda.
Belanda akhirnya memenuhi permintaan Sentot dan pada 17 Oktober 1829, Sentot menandatangani perjanjian damai dengan Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Kota Yogyakarta. Ketika melewati jalan Kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono V di Kraton. Setelah itu, Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie oleh Belanda dengan gaji 100 ringgit per bulan.
Pada Tahun 1932, Sentot dikirim ke Tanah Minangkabau oleh Gubernur Jenderal/Komisaris Jenderal J. Van den Bosch untuk melawan pemberontakan para ulama dalam Perang Padri. Pada masa Perang Padri. Sentot dan pasukannya dicurigai membantu para ulama untuk memerangi Belanda. Maka Pemerintah Kolonial Belanda memindahkan Sentot ke Bengkulu. Sebelum menjalani hukumannya, Sentot diizinkan menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dalam pembuangan di Bengkulu, Sentot banyak mengajarkan ilmu dan kaidah kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu. Pada tanggal 17 april 1855, Sentot Alibasyah Prawirodirjdo meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Bengkulu.
(nkm/nkm)