Konstruksi Masjid Jami Tua Palopo Padukan Unsur Bugis, Jawa, dan Tiongkok

Konstruksi Masjid Jami Tua Palopo Padukan Unsur Bugis, Jawa, dan Tiongkok

Rachmat Ariadi - detikSulsel
Selasa, 18 Apr 2023 07:45 WIB
Masjid Jami Tua Palopo
Foto: Masjid Jami Tua Palopo (Rachmat Ariadi/detikSulsel)
Palopo -

Masjid Tua Jami Kota Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibangun pada tahun 1604 di masa pemerintahan Datu Luwu ke-16, Pati Pasaung. Konstruksi masjid yang usianya sudah 419 tahun ini memadukan 3 budaya, yakni Bugis, Jawa dan Tiongkok.

"Memang ada 3 unsur budaya dalam masjid ini di antaranya, Bugis, Jawa dan Tiongkok. Itu ada alasannya," kata pengurus Masjid Tua Jami, Usman Abdul Malla kepada detikSulsel, Sabtu (8/4/2023).

Akulturasi 3 budaya tersebut memang tampak sangat jelas di Masjid Tua Jami Palopo. Jika dilihat dari luar, atap masjid yang berukuran 14x14 meter ini memiliki bentuk segitiga dengan 2 atap trapesium atau biasa disebut dengan atap Joglo. Bentuk ini serupa dengan masjid-masjid peninggalan para Wali Songo yang berada di Demak.

Ketika masuk ke dalam masjid, nuansa Bugis yang sangat kental akan terlihat dengan banyaknya jendela di sisi-sisi dinding. Selain itu, unsur masjid yang terdiri dari 3 bagian utama merepresentasikan 3 susunan pada rumah panggung khas suku Bugis, yaitu atap, tiang pusat (alliri posi'), dan dinding.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bugisnya terlihat pada atap, tiang atau kalau Bugis disebut Alliri Posi dan dinding. 3 itu masuk dalam unsur rumah panggung adat Bugis," jelas Usman.

Masjid Jami Tua PalopoFoto: Masjid Jami Tua Palopo (Rachmat Ariadi/detikSulsel)

Pada beberapa bagian masjid, terdapat ukiran kaligrafi Tiongkok. Kaligrafi itu bisa dilihat di dinding Mihrab yang berbentuk setengah lingkaran. Kaligrafi ini juga terdapat di beberapa bagian dinding masjid namun sudah mulai samar.

ADVERTISEMENT

Kaligrafi Tiongkok di dalam Masjid Jami Tua Palopo ini diukir oleh arsitek masjid yakni Fung Mante. Tujuannya untuk menambah kesan indah di dalam masjid.

"Fung Mante yang ukir. Jadi karena dia orang Tiongkok jadi kaligrafinya itu serupa mirip kaligrafi Tiongkok. Tapi sekarang sudah samar terlihat karena mungkin sudah lama," ucapnya.

Alasan Masjid Jami Palopo Padukan 3 Unsur Budaya

Masjid Jami Tua PalopoFoto: Masjid Jami Tua Palopo (Rachmat Ariadi/detikSulsel)

Usman menjelaskan, budaya Bugis yang berada di Masjid Tua Jami berfungsi untuk memberikan identitas daerah Luwu sendiri.

Sementara itu, adanya budaya Jawa di dalam masjid dikarenakan pengaruh 3 ulama yakni Datuk Sulaiman atau biasa disebut Datuk Patimang, Abdul Makmur atau Datuk ri Bandang dan Abdul Jawad atau Datuk ri Tiro yang membawa Islam ke Sulsel. Ketiganya merupakan murid dari Wali Songo.

"Budaya Bugis tentu karena masjid ini berdiri di tanah Luwu, kemudian budaya Jawa itu karena 3 ulama yang pertama kali menyebarkan islam merupakan murid dari Wali Songo, makanya seperti di Demak," ungkapnya.

Kemudian, budaya Tiongkok sendiri diberikan pada ukiran dinding masjid atas kehendak arsitek Masjid Tua Jami bernama Fung Mante. Dia merupakan pedagang asal Tiongkok yang berlabuh ke Luwu saat itu.

"(Budaya) Tiongkok karena yang menjadi arsitek membangun masjid tersebut adalah orang Tiongkok bernama Fung Mante," jelasnya.

Sosok Arsitek Masjid Jami Tua Palopo

Masjid Jami Tua PalopoFoto: Masjid Jami Tua Palopo (Rachmat Ariadi/detikSulsel)

Terdapat perbedaan tentang asal usul sang arsitek Masjid Jami Tua Palopo ini. Usman mengatakan, Fung Mante merupakan saudagar asal Tiongkok dan beragama Islam yang awalnya datang ke Luwu untuk berdagang. Namun Fung Mante yang juga memiliki keahlian arsitek.

Mengetahui hal tersebut, Datu Luwu ke-16, Pati Pasaung pun menunjuk Fung Mante untuk mengarsiteki pembangunan masjid di pusat kerajaan Luwu yang saat ini dikenal dengan Kota Palopo.

"Jadi memang Fung Mante ini memang pedagang islam dari Tiongkok. Tapi karena keahliannya juga sehingga ditunjuk Datu Luwu saat itu untuk membangun masjid. Dulu di sini ada beberapa mangkok asal Tiongkok peninggalan Fung Mante tetap sudah hilang," ungkapnya.

Sementara, menurut Pemangku adat Kedatuan Luwu, Maddika Bua Andi Syaifuddin Kaddiraja, Fung Mante berasal dari Toraja. Nama dari Fung atau Pong kata dia, dalam budaya Bugis hanya dimiliki masyarakat Toraja.

Selain itu, dugaan ini juga diperkuat dengan fakta bahwa masyarakat suku Toraja dikenal dengan keahliannya mengukir atau memahat batu.

"Ada versi juga kalau Fung Mante ini orang Toraja. Fung atau Pong inikan hanya orang Toraja yang punya, seperti Pong Tiku dan sebagainya. Kemudian yang memiliki seni ukir batu yang baik itu suku Toraja yang terkenal saat itu karena memang budaya mereka. Jadi kuat memang dugaan kalau Fung Mante atau Pong Mante ini adalah orang Toraja," ungkapnya.




(urw/ata)

Hide Ads